Wed, 3 December 2025

Perihal Alam Sumatera yang Mengungkap Kelalaian Negara

Reporter: Malika Nasya/Kontributor | Redaktur: KHOIRUNNISA FEBRIANI SOFWAN | Dibaca 210 kali

2 hari yang lalu
(Sumber foto: Pinterest)

JURNALPOSMEDIA.COM – Kabar duka tersiar di seluruh penjuru Negeri Indonesia. Alam yang dirusak menunjukkan seberapa parah keadaannya. Air bah menyapu apa yang ada di atas tanah Sumatera. Gelondongan kayu besar hasil penebangan liar meluluhlantakkan pemukiman warga. Terus melaju cepat, menghantam fasilitas penting dan memutus aliran listrik sehingga mereka terisolir tanpa suara.

Alam sedang menunjukkan seberapa parah manusia berbuat kerusakan di atasnya. Nyawa rakyat kecil tergilas atas kegagalan kebijakan petinggi dan kebohongan atas janji-janji yang seringkali melewati batas. Longsor menimbun rumah mereka, banjir bandang membawa hanyut semua harta benda. Hanya sedikit yang tersisa.

Tanah Sumatera adalah hamparan indah yang rentan retak oleh bencana. Masih segar dalam ingatan, duka yang menyelimuti Indonesia setelah tragedi lembah Anai terjadi pada tahun lalu. Saat ini, di penghujung tahun 2025, Sebanyak 13 Kabupaten dan Kota secara serentak diterjang longsor dan banjir bandang.

Melumpuhkan sendi-sendi kehidupan, merugikan rakyat yang tak tahu menahu. Bencana ini tidak sesimpel ‘akibat cuaca ekstrem’ yang melanda habis-habisan. Namun, ini merupakan manifestasi ‘busuknya’ pengelolaan sumber daya alam, yang dikeruk dan dirusak parah tanpa adanya perbaikan yang sepadan. Antara bobroknya permainan politik dan kepentingan bisnis, sehingga nyawa rakyat kecil lah yang dipertaruhkan.

Status Tanggap Darurat Bencana yang mulai ditetapkan sejak 25 November – 8 Desember terasa hanya hadir sebagai formalitas belaka. Seperti pahlawan kesiangan yang baru hadir setelah rakyat mengalami ribuan kerugian nyata. Ratusan nyawa yang tak berhasil selamat adalah kenyataan pahit yang tak bisa selesai dengan ‘ritual administratif’ yang selalu dicanangkan sebagai sebuah format.

Sudah bencana, barulah situasi tanggap. Padahal, alam tak pernah berkata bohong. Saat ia Memuntahkan seluruh kerusakan yang diperbuat manusia, terkhususnya mereka yang memilikinya panggung dan wewenang lebih di atas manusia kecil lainnya. Menuntut untuk dijaga, namun hanya dianggap angin lalu saja. Apakah bencana ini murni karena cuaca ekstrem saja? Ataukah sebenarnya diperparah oleh tangan-tangan manusia?

Kasus ini, dengan sangat jujur, ingin membuktikan adanya policy blindness atau kebutaan kebijakan. Pemerintah tidak mengindahkan peringatan dini dari BMKG terkait adanya cuaca ekstrem. Kemana peran pemerintah daerah? Apakah ‘ada’ evaluasi setelah banjir bandang di tahun 2024 silam? Mengapa pola yang sama kembali terulang dengan sangat mengerikan setahun setelahnya?

Negara baru hadir saat kota sudah luluhlantak, saat banyak bangunan hanya tinggal tersisa puing-puing, saat air meluap dengan dahsyat membawa gelondongan kayu gundul yang datang dari alam yang dirusak. Pun, saat keluarga kehilangan anggotanya, saat warga mengungsi dari tempat tinggalnya, dan saat banyak orang yang terisolir, kekurangan bahan makanan akibat putusnya jalan yang menghubungkan mereka dengan dunia.

Negara hadir bak pahlawan kesiangan, padahal rakyat membutuhkan peran mereka jauh sebelum tragedi mengerikan ini terjadi dalam bentuk tegasnya regulasi terkait penggundulan hutan, dihentikannya penggalian demi penggalian yang merusak sistem resapan, drainase yang berfungsi bukan sekedar pajangan, dan tata kelola wilayah yang tidak sembarangan.

Bagaimana tidak meluap? Jika kawasan resapan air di hulu sungai berubah fungsi menjadi bangunan-bangunan tanpa pertimbangan. Bagaimana tidak tersapu banjir bandang? Hutan dieksploitasi, ‘kepalang’ rusak karena tidak diperbaiki secara utuh kembali.

Haruskah kita menyalahkan curah hujan yang tinggi? Atau, menyalahkan Tuhan yang selalu menjadi saksi? Haruskah, kita menormalisasikan bencana mengerikan ini untuk selalu terjadi- kala hujan turun tiada henti? Atau haruskah kita menyalahkan populasi? Siapa yang harus kita dengar? Keterangan pihak berwenang, atau kejujuran alam yang kini sedang berang?

Dalam sebuah video dokumenter yang dibuat belasan tahun lalu, “Years of Living Dangerously”. Ketika Menteri Kehutanan (Menhut) RI, Zulkifli Hasan, ditanyai perihal kerusakan hutan di alam Sumatra.

“Dalam 15 tahun terakhir, 80 persen hutan telah dieksploitasi secara komersial. Dan ketika kami bertanya kepada banyak orang Indonesia, mengapa hal ini terjadi? Mereka berkata, Tuan, ini ada hubungan yang terlalu kuat antara bisnis dan politik di negeri ini,” ungkap Harrison Ford.

Dan dengan entengnya, Menhut mengatakan bahwa, negara ini baru berdemokrasi. Dia meyakini, di kemudian hari, pastilah akan terjadi titik yang seimbang. Padahal, entah itu kapan akan terjadi. Hanya janji sekedar ucapan tak berarti.

“Hanya tersisa 18 persen lahan pohon di hutan Sumatra,” geram Ford.

Jika belasan tahun lalu, sudah banyak sekali pembangunan jalan ilegal baru, penebangan liar, pohon yang berserakan di tanah-bahkan terbakar di tempatnya jatuh. Lalu, apa kabar dengan hari ini? Menhut pun berjanji akan menangani itu. Namun, ketika ditanyai ‘resolusi apa yang telah dilakukan?’.

Zulkifli Hasan dengan entengnya menjawab, “Kami baru melihat dan terkaget-kaget, kami setiap hari mencoba menyelesaikan persoalan ini. Kami baru berdemokrasi, kami bukan Amerika, berbeda. Kami baru mengalami Reformasi,” dan itu merupakan jawaban yang sangat tidak solutif.

Kalau sejak saat itu, pemerintah sudah berjanji akan menangani permasalahan ‘rusaknya’ hutan dalam negeri. Lantas, kenapa sampai saat ini-belasan tahun setelahnya, persoalan itu tidak kunjung menemui titik usai? Penyebabnya apalagi? Jika bukan karena politik dan bisnis yang menguntungkan pihak-pihak penguasa ‘di atas kursi’.

Para insan di negeri ini, tidak bisa terus menerus hidup dalam masa tanggap darurat yang satu dan begitu seterusnya. Stop menormalisasi bencana, yang terjadi akibat ‘curah hujan tinggi’.

Kenapa harus menyalahkan iklim dari langit, ketika bumi saja tidak dibenahi? Harus ada perbaikan nyata secara menyeluruh, terhadap infrastruktur pengendali banjir dan memperbaiki daerah resapan alami. Hentikan penebangan liar dan hutan yang terus menerus dieksploitasi.

Stop bertindak ‘lemah’ terhadap para perusak di zona merah. Pemerintah harus bersikap tegas dan berani menolak perizinan untuk pembangunan di kawasan rawan bencana.

Teknologi ‘sensor peringatan dini’ harus diupayakan kuantitas dan kualitasnya, dirawat dengan baik, bukan dibiarkan usang begitu saja. Karena, alam tidak akan ‘merusak’ jika tidak dirusak.

Kita tidak harus menunggu bencana terjadi, barulah bertindak. Jika ultimatum dari alam, tidak kunjung diindahkan dan membuat para manusianya bebenah, lantas harus dengan cara apalagi alam menunjukkan kerusakannya yang sudah demikian parah? Apakah harus ada korban jiwa dan material lagi, untuk membuat pemerintah serius membuat perbaikan yang nyata atas kerusakan-kerusakan di Bumi Pertiwi?

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments