Namanya Sore.
Ujang Sore jelasnya. Jenis kelamin laki-laki. Dan aku, baru mengetahui namanya setelah percakapan singkat kami di depan kampus tercinta, Universitas Insyaallah Negeri.
Siang itu, matahari sedang ganas panasnya. Menjadikan rambut, serta kerudung biru yang kukenakan dibanjiri keringat olehnya. Aku turun dari angkot jurusan Cileunyi – Cicaheum persis di depan kampus. Saat sedang berjalan menuju gerbang kampus, ada suatu fenomena langka yang tentunya jarang terjadi di kampusku. Adalah seorang mahasiswa, dengan senyuman lebar tersungging di bibir membawa secarik kertas bertuliskan “Jangan Lupa Senyum”. Matanya berbinar seolah mengajak para pelalu jalan untuk ikut tersenyum jua. Tak sedikit senyum simpul tertarik, dari bibir para pejalan kaki yang larak-lirik membaca kata penuh intrik yang dituliskan oleh mahasiswa antik.
Mahasiswa itu bersama dengan seorang temannya, mereka berdua terlihat bersemangat. Masih memakai helm di kepala dan jaket di siang hari (menurutku itu sangat gerah) tak menghiraukan cuaca dan terus melaksanakan niat mulia. Senyum adalah sedekah. Sedekah adalah ibadah. Aku pun ikut tersenyum dari jauh.
Sambil menunggu Mala (teman dekatku) datang, aku yang sedang “Fakir Isu” mendapatkan ilham secara tiba-tiba. “Ini sepertinya pas untuk dijadikan berita radio,” batinku. Kurang apalagi ? isu ini masih hangat atau aktual, menarik bagi khalayak dan pastinya jarang terjadi. Mala yang tak kunjung datang, kujadikan kesempatan menyusun pertanyaan yang akan aku ajukan.
Beberapa menit kemudian, barulah Mala datang menghampiriku. Kukatakan pada Mala, bahwa aku ingin mewawancarai mahasiswa tersebut. Namun saat kami akan menghampiri, mereka terlihat sedang bersiap-siap untuk pergi. Ia dan temannya menempelkan kertas tersebut di bagian belakang tas, agar setiap orang dapat membaca dan tertular oleh virus “Jangan Lupa Senyum” itu.
Dengan sedikit berlari kami mendekat. Kemudian meminta izin untuk melakukan wawancara seputar aksi mereka tadi. Awalnya mereka tidak bersedia di wawancara karena buru-buru ingin pergi. Namun dengan sedikit paksaan yang aku lakukan dan memasang wajah yang memelas, akhirnya salah satu dari mereka pun bersedia untuk diwawancarai.
Yess, aku punya isu.
Setelah sesi wawancara selesai dilakukan, aku pun berkenalan dengan kedua mahasiswa tersebut. Mahasiswa yang pertama bernama Besar, ia adalah mahasiswa yang memegang kertas “Jangan Lupa Senyum”, senyuman pun senantiasa terlukis manis di wajahnya. Sementara mahasiswa kedua bernama Sore, ia adalah mahasiswa yang bersedia melakukan sesi wawancara denganku. Mereka berdua berasal dari jurusan yang sama, yaitu jurusan Tasawuf Psikoterapi semester tiga.
Biar sedikit aku ceritakan, bagaimana sesi wawancara yang kami lakukan. Dengan helm masih menempel di kepala, sambil duduk di atas motor maticnya Sore menjawab berbagai pertanyaan yang aku ajukan dengan antusias. Ia pun menjelaskan tujuannya melakukan aksi tersebut, sembari menceritakan komunitas “Jangan Lupa Senyum” yang akan mereka rintis. Sore bukanlah tipe narasumber yang kaku atau formal ketika di wawancarai. Gestur tubuhnya yang santai dibumbui dengan sedikit candaan, membuatku mudah menggali informasi darinya.
Semula aku kira, aksi mereka hanyalah keisengan belaka. Dari hasil wawancara aku pun mengerti, ini adalah salah satu cara mereka untuk memperkenalkan komunitas “Jangan Lupa Senyum” yang akan mereka rintis Januari 2016 nanti. Ide yang menarik pikirku, di zaman yang katanya melek internet seperti saat ini senyuman di dunia maya justru lebih terasa dan lebih sering dilakukan. Dibandingkan senyuman di dunia nyata yang mungkin hampir hambar rasanya. Tapi Sore dan Besar tidak akan diam membiarkan hal itu terjadi, mereka dengan sukarela akan terus beraksi.
Nah, itulah pertemuan pertamaku dengan Sore. Ujang Sore lengkapnya. Karena terburu-buru aku tak sempat meminta kontaknya, baik nomor handphone, pin BBM ataupun id Line. Singkat. Padat. Dan cepat. Aku kira dia hanya akan menjadi narasumber hebat yang lewat begitu saja setelah wawancara, sama seperti yang sudah-sudah. Namun, kali ini tak sama. Dialah sang tokoh utama. Dia yang kisahnya ingin aku bagi padamu.
Kau tahu? Dia benar-benar berbeda.
Namanya Sore.
Ujang Sore jelasnya. Jenis kelamin laki-laki. Lahir 20 tahun yang lalu, pada tanggal 16 Agustus. Kami memiliki tanggal lahir yang sama tapi bulan yang berbeda.
Malam itu tanggal 8 Desember 2015, aku sedang duduk di ruang tamu rumahku sambil main game Piano Tales 2 level 12. Saat sedang asyik-asyiknya memencet tuts piano dalam game, tiba-tiba ada pesan langsung yang masuk ke akun Instagram ku. Pesan tersebut berasal dari akun yang bernama SejakSore, isi pesannya hanya menyapaku. Biasanya aku tidak terlalu peduli pada pesan-pesan yang masuk ke akun Instagramku, ah paling cuma orang iseng pikirku. Tapi saat melihat foto profilnya, sepertinya aku kenal dia.
Lalu aku membuka profil Instagram SejakSore, pantas saja aku merasa pernah melihatnya. Dia adalah Sore, narasumberku tempo hari.
Aku pun langsung membalas pesan tersebut. Awalnya, kami hanya membicarakan seputar komunitas “Jangan Lupa Senyum” yang akan dia bentuk. Sebenarnya, aku juga tertarik pada komunitas itu dan berencana mengajak teman-temanku untuk ikut bergabung.
Balas-berbalas pesan terus berlanjut melalui line, pembahasan bukan lagi sekedar tentang komunitas tapi melebar kemana mana. Pola pikir dan caranya memandang suatu hal berbeda dengan manusia khususnya anak muda pada umumnya. Aku rasa dia makhluk langka yang harus dijaga keberadaannya agar tidak punah terbawa arus globalisasi dan modernisasi. Tapi tak perlu memenjarakannya di museum hanya untuk membuat keberadaannya terjaga, alam akan membantunya mengasah pola pikirnya agar semakin tajam dan menikam kehidupan.
Kau tahu? Dia benar-benar menarikku
Ah ya, sebelum kau hanyut dalam kisahnya. Bersiaplah meresapi alunan nada-nada misteri lewat diksi yang ku tulis. Jadi, pasang matamu baik-baik.
Namanya Sore.
Ujang Sore jelasnya. Jenis kelamin laki-laki. Dan aku, baru tahu dia jago main alat musik karinding setelah stalking Instagramnya.
Matahari telah kembali, sehingga semburat senja tak terlihat lagi. Membiarkan malam mengambil alih selimuti kota menjelang sisa hari. Lantunan ayat-ayat suci memecah sepi sebuah pondok pesantren di daerah Cisanti.
Selepas sholat tiga rakaat, santriwan dan santriwati berlomba-lomba merapal doa-doa penuh makna. Tak ada keindahan yang nyata selain doa. Biarkan ia mengawang ke angkasa. Membelah luasnya andromeda, dan bersinar diantara pedarnya gemintang malam. Hingga ia tiba di langit penuh praduga.
Di sisi lain pondok pesantren, dua orang santriwan sedang mengendap-ngendap takut tersadap. Sambil mengayuh sepeda, pelan-pelan keduanya berhasil lari dari kewajibannya melantunkan ayat-ayat suci. Darah muda yang bergemuruh di dada, sepertinya menutup mata pada konsekuensi yang akan mereka terima. Namun siapa peduli ? Mereka tetap pergi.
Angin malam menerpa wajahnya, mempermainkan helai-helai rambutnya yang hitam legam. Merasa kosong berada di penjara suci. Merasa mati dalam sunyi. Malam itu, ia biarkan tubuhnya berkelana entah kemana. Malam itu, ia biarkan jiwanya bernafas bebas. Lepas.
Berdua dengan temannya, ia kayuh sepeda hasil pinjaman. Susuri jalanan sepi, jalan pintas terdekat menuju kota dari Cisanti.
Setelah mengayuh sepeda cukup jauh, akhirnya sampailah ia dan temannya di lampu merah perempatan kota. Saat akan melanjutkan pengembaraan, tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah bangunan di sisi jalan. Bumi Karinding itulah namanya. Ia pun mendekat menjalin akrab dengan pemilik saung, yaitu Kang Mamat.
Karinding sepertinya sengaja menariknya.
Sejak saat itu, ia rasa ia temukan teman hidupnya. Teman dekat yang tak khianat. Teman berbagi saat lara menghampiri. Lambat laun, ia dan karinding bagai bakat yang lekat di zaman pekat. Karinding menjatuhkan cinta padanya. Ia menjatuhkan cintanya pada karinding.
Ding dang dung….
Ding dang dung….
Karinding berdendang mengandung makna yang sarat dengan rasa…
Ding dang dung….
Ding dang dung….
Karinding berdendang mengandung kumpulan kata yang tak terucapkan…
Ding dang dung….
Ding dang dung….
Alisnya yang hitam tebal, bulu matanya yang lebat menaungi kedua mata elangnya. Tajam bola matanya menatap lurus pada arus yang terus menggerus. Ia keluarkan teman hidup dari tempat persembunyiannya. Lalu ia kecup dengan mesra, kemudian lincah jari jemarinya mulai menyentuh teman hidupnya itu.
Alunan nada-nada mistis menyelinap masuk ke dalam daun telinga, otakku lumpuh seketika. Rasa yang ada mengalahkan logika dan realita. Kemampuannya adalah bakat. Semoga ia lekat, dan membuatku tetap terpikat.
Bagiku ini bukan sekedar tugas belaka, bagiku perkenalan ini adalah pengalaman berharga.
-Terinspirasi dari sosok nyata salah satu mahasiswa UIN Bandung-
*Penulis merpakan mahasiswa Jurnalistik semester VII/2013 aktif di Jaringan Anak Sastra (JAS), Sastra Senja, Kekata Kita, Lingkar Pecinta Sastra, dan Teater Pena.