JURNALPOSMEDIA.COM – Tasikmalaya, yang selama ini dikenal sebagai “Kota Santri,” merupakan sebuah kota dengan identitas kuat sebagai wilayah mayoritas Muslim dalam menjalankan ajaran agama Islam. Sebagai kota yang dihiasi dengan pesantren-pesantren besar, gelar tersebut mencerminkan nilai-nilai religius dan moral yang selama ini menjadi pijakan masyarakat. Namun, belakangan ini muncul pertanyaan, apakah gelar “Kota Santri” masih relevan dengan kondisi sosial yang ada saat ini?
Dalam beberapa tahun terakhir, data menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam angka kriminalitas di Tasikmalaya. Menurut data dari Open Data Kota Tasikmalaya, angka kriminalitas pada tahun 2023 tercatat sebanyak 369 kasus, sementara pada tahun 2024 jumlahnya melonjak menjadi 679 kasus. Angka yang meningkat hampir dua kali lipat ini jelas mengindikasikan adanya perubahan sosial yang mengkhawatirkan. Peningkatan angka kriminalitas ini mencerminkan adanya penurunan penerapan nilai-nilai agama dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu bertentangan dengan citra Tasikmalaya sebagai kota yang menjunjung tinggi ajaran agama Islam.
Salah satu penyebab utama fenomena ini adalah pergeseran moral yang terjadi di kalangan masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Seiring dengan perkembangan zaman, gaya hidup konsumtif dan individualisme semakin mempengaruhi pola pikir generasi muda di Tasikmalaya. Keinginan untuk hidup mewah dan mengejar kepuasan pribadi, seringkali mengarah pada tindakan yang tidak etis, seperti korupsi, penipuan, bahkan kekerasan. Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya peningkatan kriminalitas. Kondisi ini semakin diperburuk dengan menurunnya kepedulian sosial, di mana solidaritas antar individu semakin lemah. Masyarakat menjadi kurang peduli dengan lingkungan sekitar, dan rasa tanggung jawab bersama untuk menciptakan masyarakat yang aman dan harmonis semakin tergerus.
Fenomena ini juga mengarah pada ironi, mengingat pesantren dan lembaga keagamaan yang seharusnya menjadi benteng pertahanan moral bagi masyarakat. Pesantren-pesantren di Tasikmalaya seharusnya bisa menjadi tempat untuk memperkuat nilai-nilai agama dan moral yang telah lama diajarkan dalam tradisi Islam. Namun kenyataannya, beberapa pesantren cenderung lebih fokus pada pendidikan akademis dan formal, bukan pada pembentukan karakter dan moralitas. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan di Tasikmalaya perlu melakukan evaluasi dan introspeksi untuk kembali memperkuat peran mereka dalam menjaga nilai-nilai moral dan sosial di kalangan masyarakat.
Peningkatan angka kriminalitas ini juga menunjukkan adanya kelalaian dalam upaya pemerintah daerah untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan seharusnya mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk menguatkan kembali nilai-nilai religius dan moral yang semakin terkikis. Pemerintah, tokoh agama, serta masyarakat harus bersinergi untuk menciptakan solusi yang efektif. Jika tidak ada upaya konkret untuk memperkuat nilai-nilai moral, maka gelar “Kota Santri” yang selama ini disandang oleh Tasikmalaya akan semakin kehilangan makna dan relevansinya.
Keberhasilan dalam mempertahankan gelar “Kota Santri” bukan hanya bergantung pada banyaknya lembaga pendidikan agama yang ada, tetapi juga pada kemampuan masyarakat untuk mengimplementasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan budaya yang lebih peduli terhadap sesama, meningkatkan solidaritas, dan memiliki rasa tanggung jawab sosial yang lebih besar. Jika kondisi ini terus berlanjut, gelar “Kota Santri” akan menjadi kenangan belaka, sementara Tasikmalaya akan lebih dikenal dengan masalah sosial dan kriminalitas yang semakin meresahkan.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita melakukan evaluasi terhadap kondisi sosial di Tasikmalaya. Upaya untuk mengembalikan identitas religius ini sangat penting, tidak hanya dengan meningkatkan program-program agama, tetapi juga dengan menumbuhkan rasa kepedulian sosial di kalangan masyarakat. Hanya dengan cara ini, gelar “Kota Santri” dapat kembali relevan, dan Tasikmalaya bisa menjadi contoh bagi kota-kota lain dalam menjalankan nilai-nilai agama dan moral yang kuat.