JURNALPOSMEDIA.COM – Kasus sengketa tanah di Dago Elos mencerminkan wajah buram konflik agraria yang masih marak terjadi di Indonesia.
Kasus ini melibatkan berbagai aktor, mulai dari pihak Muller bersaudara, PT Dago Inti Graha, hingga institusi penegak hukum yang lambat dan terkesan tidak berpihak pada warga.
Kompleksitas kasus ini memperlihatkan bagaimana mafia tanah dapat memanfaatkan celah hukum untuk mempertahankan klaim mereka, meskipun bukti pemalsuan dokumen dan manipulasi telah terungkap.
Penetapan tersangka terhadap Muller bersaudara merupakan sebuah titik terang bagi warga Dago Elos. Namun, lambatnya proses peradilan menimbulkan pertanyaan besar tentang keadilan yang seharusnya segera ditegakkan.
Proses hukum yang berlarut-larut ini memberikan ruang bagi para pelaku, termasuk Muller bersaudara dan pihak terkaitseperti PT Dago Inti Graha, untuk terus memanfaatkan celah hukum dan mencoba menggagalkan proses hukum melalui praperadilan.
Ini adalah cerminan nyata dari bagaimana ketidakadilan struktural dan kelemahan sistem hukum kita dapat menguntungkan pihak yang lebih kuat.
Kasus ini juga memperlihatkan betapa pentingnya integritas lembaga peradilan dan aparat penegak hukum. Pengeluaran P19 oleh Kejaksaan Tinggi yang memaksa warga untuk kembali melalui proses pemeriksaan ulang, meski bukti sudah lengkap, menunjukkan adanya hambatan struktural yang memperlambat jalannya keadilan.
Di sisi lain, gugatan praperadilan yang diajukan Muller, meski seharusnya gugur karena sidang pokok perkara telah dimulai, menunjukkan bagaimana mafia tanah terus mencoba mencari celah untuk lolos dari jerat hukum.
Tidak hanya itu, kasus ini juga mengungkap peran pihak lain seperti Jo Budi Hartanto dan Orie Chandra, yang diduga kuat menjadi dalang di balik sengketa tanah ini.
Mereka dengan cermat memanfaatkan klaim eigendom verponding, jenis hak kepemilikan tanah era kolonial yang sudah tidak berlaku lagi setelah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, untuk mengklaim lahan warga.
Ini adalah modus operandi klasik yang sering digunakan oleh mafia tanah untuk merampas tanah rakyat dengan memalsukan dokumen dan mengajukan klaim yang tidak sah.
Di tengah situasi ini, perjuangan warga Dago Elos harus diapresiasi. Mereka dengan gigih menghadapi mafia tanah yang memiliki akses lebih besar terhadap kekuasaan dan sumber daya hukum.
Kasus ini menjadi simbol dari perlawanan rakyat kecil melawan kekuatan besar yang berusaha menguasai tanah yang telah mereka huni selama bertahun-tahun. Kemenangan moral yang telah diraih melalui penetapan tersangka dan terungkapnya pemalsuan dokumen oleh Muller bersaudara harus terus diperjuangkan hingga mencapai keadilan substantif.
Kasus ini bukan hanya tentang pertarungan kepemilikan tanah. Ini adalah cerminan dari perjuangan melawan mafia tanah dan ketidakadilan hukum yang masih membelit sistem agraria di Indonesia.
Jika tidak segera diselesaikan dengan transparan dan adil, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum akan semakin terkikis.
Penegak hukum dan lembaga peradilan memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan tanpa terpengaruh oleh kekuatan eksternal. Hanya dengan cara ini kita dapat menciptakan negara yang benar-benar adil bagi semua lapisan masyarakat.