Tue, 1 April 2025

HISTERIA RENDAH DIRI

Reporter: Dina Indriantika/ Kontributor | Redaktur: | Dibaca 632 kali

Wed, 27 February 2019
Ilustrasi: Abdul Latief/ Jurnalposmedia

Hai.. Aku Flora.

Aku orang yang paling tidak memiliki apapun di dunia ini.

Aku tidak punya teman.

Aku tidak punya harta.

Aku tidak punya keberanian dan juga kepercayaan diri yang baik.

Dan ini…Kehidupan ku yang membosankan.

Orang tua ku pergi saat aku masih belum fasih berbicara. Aku tidak tahu mereka kemana, yang jelas banyak yang mengatakan bahwa orang tuaku menelantarkan ku dipanti asuhan, karena aku lahir dengan keadaan yang tidak seperti mereka harapkan. Mereka menginginkan anak laki- laki bukan anak perempuan sepertiku, hanya itulah yanga kutahu tentang orang tuaku.

Ibu panti asuhan yang biasa aku sebut dengan Ibu Sinta, begitu menyayangiku, dia memberikan segalanya yang aku inginkan, dia memberikan kasih sayang yang tak pernah aku dapatkan dari orang yang harusnya bersamaku saatini, sampai hal itu menjadi alasan mengapa anak-anak lain di panti begitu membenciku. Mereka menganggapku pembawa sial, karena aku yang    membuat Bu Sinta tidak seperhatian seperti dulu pada mereka. Dulu, sebelum aku datang semuanya baik- baik saja, tidak sekacau sekarang.

Meskipun aku hidup bersisian dengan kebencian dari orang lain, aku masih bisa menganggap hidup ku seperti surga saat ada Bu Sinta. Dia adalah sumber semangat terbesar dalam hidupku. Sampai akhirnya, kepahitan hidup perlahan mulai menghampiriku tanpa permisi. Saat aku  menginjak kelas 3 SMP Bu Sinta pergi untuk selamanya. Dia benar-benar pergi meninggalkanku sendirian dan membiarkanku hidup bersama orang- orang yang membenciku dengan sepenuh hati.

Waktu terus berlalu, meninggalkan kenangan- kenangan pahit berikutnya yang muncul lalu membekas dalam hidupku. Dan aku semakin tenggelam dalam situasi yang bernama kesedihan.

Tiga tahun yang lalu setelah Bu Sinta pergi, pribadiku mulai terbentuk. Bukan pribadi yang baik  yang melekat pada diriku. Karena sejak saat itu aku menjadi orang yang pendiam dan menutup diri dari keadaan sekitar. Bersikap acuh terhadap apapun yang berhubungan dengan lingkungan  sosial. Itulah sebabnya aku tidak pernah bisa memiliki teman. Aku takut, jika semakin banyak teman, semakin banyak pembenci. Tidak akan ada orang yang dengan tulus ingin berteman denganku. Aku memang pantas dibenci. Bahkan sejak aku kecil, aku sudah akrab dengan sesuatu yang bernama kebencian.

Aku tidak memiliki keberanian untuk menyapa orang- orang yang satu kelas denganku. Bukan  tidak mau, tapi karena aku terlalu pengecut dan tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk bergabung bersama mereka.

Aku merasa rendah di mata mereka, aku merasa bahwa aku hanyalah sampah jika dibandingkan mereka. Teman- temanku? Mereka semua memiliki wajah yang menawan, otak yang cerdas serta harta yang banyak. Sedangkan aku? Aku pun terlalu sedih untuk menyebutkannya satu persatu. Mungkin, semua yang ada pada diriku akan berbanding terbalik jika disandingkan dengan mereka.

Aku tidak merasa menjadi orang yang dikucilkan dikelas. Karena yang benar adalah aku sendiri yang mengucilkan diriku di kelas. Wajar, jika lambat laun mereka mulai tidak menyukaiku, karena sikapku yang terlalu menutup diri menjadikan aku seperti kotoran yang perlu dibasmi di sana.

Pernah sekali aku mencoba untuk sedikit mengubah duniaku. Aku mencoba mengakrabkan diriku bersama mereka. Namun apa yang terjadi? Ketakutanku akhirnya menjadi nyata. Mereka  menatapku dengan tatapan tajam yang tidak suka. Aku tidak diterima untuk menjadi bagian dari mereka. Tidak ada tempat untukku di sana. Aku terlalu rendah untuk dihargai oleh siapapun di dunia ini.

Aku terkadang iri. Pada burung yang selalu terbang bersama- sama di langit biru bersama kawanannya. Bahkan, aku juga iri, meskipun hanya kepada semut yang berjalan beriringan di atas dinding. Sedangkan aku? Aku yang selalu berjalan sendiri tanpa teman, tanpa sahabat dan tanpa keluarga. Aku benar- benar sendiri dan tak punya siapa- siapa. Memang siapa yang akan bersedia berjalan berdampingan denganku? Aku rasa tidak akan ada. Itu Mustahil.

Sampai akhirnya muncul satu pemikiran, mungkin ini waktunya aku keluar, mungkin sudah tidak ada tempat untukku di dunia yang terlalu menyedihkan ini.

Selalu terasingkan menjadikan ku selalu mengasingkan diri. Terlalu direndahkan menjadikanku  selalu merasa rendah diri. Bingung, kecewa pada diri sendiri karena tidak sekuat dulu. Takut, karena mulai sulit menerima hal buruk yang pastinya akan selalu datang di kemudian hari. Padahal, yang aku lakukan hanya perlu mempersiapkan diri.

Namun,tak kusangka duniaku yang suram mulai berubah, kini warna mulai menghampiri. Tak kelam seperti dulu saat dia muncul menerangi, seakan membawa lampu- lampu yang sudah lama kunanti.

Dia Mars, seorang laki- laki dengan nama planetnya yang mulai mengubah hidupku tanpaku sadari.

Kini, aku akan cerita sedikit kisah pertemuan pertama kami. Satu hari yang menjadi salah satu kenangan terbaikku selain kenangan bersama Bu Sinta. Satu hari yang menjadi awal datangnya cahaya di kehidupanku.

Kami bertemu di salah satu toko buku terlengkap di kawasan Jakarta. Dia satu angkatan denganku karena kami sama- sama duduk di kelas 3 SMA.

Kami bertemu dengan tidak sengaja, saat itu dia sedang bingung mencari salah satu buku yang berisi soal- soal masuk perguruan tinggi negeri. Dia bertanya padaku. “Apa kamu tahu di mana tempat buku kumpulan soal SBMPTN?”, aku yang pertama kali ditanya oleh seoranglaki-laki hanya bisa meneguk salivaku dalam- dalam. Aku tak tahu harus menjawab apa, karena yang terjadi justru tanganku yang bergetar hebat. Menurutku ini adalah sesuatu yang menegangkan.

Dia terus menatapku, memperhatikanku dengan sorot mata teduhnya. Mungkin dia juga merasakan perubahan sikapku. “Kamu kenapa?”, tanyanya. Aku hanya mampu menggeleng dan mencoba memberanikan diri untuk menjawab. “Buku yang kamu cari ada di rak yang paling ujung.” Jawabku sambil mengarahkan telunjuk tanganku pada rak buku itu.

Dia mengangguk lalu tersenyum sangat manis kepadaku. “Thanks.”, ujarnya lalu pergi ke tempat yang baru sajaku beri tahu.

Saat aku masih memilih buku, dia sudah berlalu terlebih dahulu. Aku menghela napas berat, kenapajuga aku harus merasa sedih ketika dia pergi?

Karena aku sudah mendapatkan buku yang aku cari, aku pun berlalu dari toko buku itu. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat lelaki tadi masih berada di depan toko buku itu. Entah apa yang ia tunggu.

Menyadari kehadiranku, dia berbalik menatapku lalu tersenyum setelahnya. “Sudah dapat bukunya?”, tanya cowok itu. Aku hanya mampu mengangguk sebagai jawaban.

“Ini sudah sore. Bentar lagi malem juga. Mau pulang bareng aku?”, tawarnya. Aku hanya dapat membelalak saja mendengarnya. Kita baru kenal, bagaimana bisa dia langsung menawarkan untuk pulang bersama? Dia pasti hanya akan mempermainkanku.

Aku memaksakan senyum canggungku. “Aku rasa gak perlu. Aku bisa pulang sendiri.”

Aku melihat dia menghembuskan napas beratnya setelah mendengar jawabanku. “Aku bukan orang jahat. Kamu bisa mempercayaiku? Lagian kamu gak takut pulang sore- sore begini sendirian?”

Aku menggelengsebagai jawaban. Lagi pula untuk apa aku takut, hal seperti ini sudah sering aku lakukan. Tapi dia seakan menanti jawabanku dan berharap bahwa aku akan mengatakan “iya.” Untuk pulang bersamanya.

Aku menatapnya tidak enak untuk menolak. “Maaf, tapi kita bukan orang yang saling kenal.”, ucapku final. Lalu mulai berjalan meninggalkan dia sendirian.

“Aku Mars. Nama kamu siapa?”, tanyanya. Aku hanya mengerutkan kening. Tak mengerti apa yang dia inginkan sebenarnya. Mengajak pulang bersama? Baru setelah itu mengajakku berkenalan? Itu bukanlah urutan yang benar.

“Flora? Nama kamu Flora?”, aku membelalakan mataku ketika mendengarnya. Bagaimana dia bisa tahu?

Seakan mengert i pertanyaan batinku. Laki- laki yang bernama Mars itu tertawa ringan. “Di kalung  itu tertulis tulisan Flora, itu nama kamu kan?”.

Aku merutuki kebodohanku. Kalung ini benar- benar tidak mendukungku hari ini. Namun, tidak  bisa dipungkiri, aku memang bodoh. Kenapa aku tidak melepaskannya saja dulu sebelum berangkat? Tapi bagaimana aku tahu kejadiannya akan seperti ini?

“Ini.”, ujarnya sambil menyerahkan sebuah KTP padaku.

“Apa? Ini buat apa?”, tanyaku penasaran.

“Sepertinya kamu baru bisa percaya sama aku kalo kamu pegang KTP aku.”, jawabnya seakan tanpa beban.

Aku tertawa dalam hati saat mendengar dia berbicara seperti itu. Namun sepertinya dia tidak akan menyerah untuk terus membujukku agar pulangbersama.

Mungkin, tidak ada salahnya juga jika aku menerima tawarannya. Karena sepertinya laki- laki yang bernama Mars ini bukanlah orang jahat.

“Baiklah. Aku akan pulang bersamamu. Tapi jika kamu macam- macam aku akan buang KTP ini.”, ancam kupadanya.

Dia lagi- lagitertawa, namun setelah itu dia mengatakan sesuatu yang sangat membuatku tenang ketika mendengarnya. “You can believe me.”

Aku dan dia pulang bersama, aku menaikki motor besarnya. Banyak juga hal- hal yang kami obrolkan saat di perjalanan. Dan Mars adalah orang yang sangat menyenangkan.

Sejak saat itu seiring berjalannya waktu aku dan Mars semakin dekat. Kami menjadi lebih sering berkomunikasi disetiap harinya. Dan tidak jarang kami menyempatkan waktu untuk bertemu.

Mars adalah teman pertamaku. Dia sangat baik danjuga sangat menghargai wanita sepertiku. Berbagai hal tentang suramnya kehidupanku telah aku ceritakan pada Mars. Entah kenapa seperti mudah saja menceritakan semuanya pada Mars. Mungkin karena Mars adalah sosok yang menyenangkan.

Dia menerimaku apa adanya meski setelah tahu aku begitu banyak memiliki kekurangan dan meskipun dia tahu betapa gelapnya duniaku. Tapi di matanya aku ini adalah wanita yanghebat dan kuat. “Kamu ini wanita yangsangat menakjubkan.”, begitulah kata-katanya saat itu. Dan aku cukup tersipu mendengarnya.

Aku dan Mars benar- benar menjadi sangat dekat, dia selalu adau ntukku dan aku selalu ada untukknya. Bahkan, tanpa kami sadari muncullah perasaan sayang lebih dari kata sahabat di antara Aku dan Mars.

Ada suatu hal yang tidak pernah aku duga akan terjadi, namun selalu aku selipkan dalam mimpi. Suatu hari Mars mengungkapkan cintanya padaku. Dan dengan bahagia aku menerima cinta Mars. Karena jujur, aku begitu menyayangi Mars.  Aku merasa sangat bahagia bisa bersama Mars. Dan aku juga berharap Mars merasakan hal sama seperti bahagia yang aku rasakan.

Sampai suatu hari, Mars mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut. Dia berkata, “Akuakan memperkenalkanmu pada kedua orangtuaku.”, saat itu aku tak bisa berkata apapun. Hanya saja aku tidak mengerti apa maksud dan tujuan Mars dengan memperkenalkanku pada kedua orang tuanya? Bagaimana jika nanti orangtuanya tidak menyukaiku? Lalu bagaimana jika nanti orang tuanya membenciku dan mencoba memisahkan kami berdua?

Berbagai pemikiran akan kemungkinan yang paling buruk terus menghantui otakku . Aku tidak enak jika harus menolak ajakan Mars. Tetapi di sisi lain aku juga tidak berani untuk bertemu orangtua Mars dalam waktu yang dekat.

Namun, pada akhirnya saat itu tiba. Saat aku berkunjung ke rumah Mars dan bertemu orang tuanya. Tanganku  gemetaran, aku gugup bukan main, aku takut pemikiran negatifku menjadi kenyataan .

“Kenapa?”, tanya Mars menatapku lekat.

Aku menggeleng sebagai jawaban.

Mars tersenyum seakan mengerti apa yang membuatku gelisah. “Kamu tenang aja. Orangtua aku baik- baik, mereka gak akan gigit.”

Aku tertawa mendengar lelucon yang Mars berikan. Perkataan Mars cukup membuatku sedikit tenang. Mars benar, aku tidak perlu takut, orang tuanya tidak mungkin menggigitku.

Sesaat setelah itu aku dapat melihat ada sepasang suami istri yang dapat aku tebak bahwa itu adalah orangtua Mars. Mereka datang menghampiri kami, mereka duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi yang aku dan Mars tempati. Tatapan mereka bertemu dengan mataku. Dan mereka tersenyum ramah.H al itu membuat gelisah yang sedari tadi menghantuiku seakan berlalu begitu saja. Orangtua Mars sepertinya adalah orang-o rang yang baik dan ramah.

“Ma, Pah. Kenalin dia kekasih Mars. Namanya Flora.”. Mars memperkenalkan diriku di hadapan orangtuanya.

Aku menunduk malu ketika mendengar Mars menyebutku dengan kata “Kekasihku.”. Sungguh, hati ku bahagia mendengarnya.

Namun, reaksi yang ku dapat berbeda dengan dugaanku sebelumnya.OrangtuaMars seakan terkejut ketika mendengar namaku.

Aku tidak tahu kenapa.

“Nak. Nama kamu Flora?”, tanya mama Mars. Masih dengan keterkejutannya.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

Aku dapat dengan jelas melihat tatapan mata orangtuaMars tertuju pada leherku. Aku bingung, suasana apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini?

“Flora, apakah itu kalungmu?” kini giliran ayahnya Mars yang bertanya.

“Papa tanya apasih, ya jelas itu punya Flora.K an Flora yang pake.” Mars mungkin sudah risih dengan sikap kedua orang tuanya yang terbilang aneh dan tidak seperti biasanya.

“Iya om. Ini kalungsaya, sejak saya masih bayi kalung ini sudah melingkar di leher saya.”, jawab ku apa adanya.

Aku dapat melihat kedua orangtua Mars terkejut ketika mendengar perkataanku.

“Apa kamu tahu sesuatu soal Panti Asuhan Sinta Kasih?”, aku mengernyitkan dahiku, pertanyaan macam apaitu? Bagaimana bisa aku tidak mengetahui panti asuhan yang merupakan tempat tinggal ku itu.

Aku mengangguk saja, “Itu tempat tinggal saya, om.”

Aku membelalak ketika suasana menjadi tak terkendalikan. Ibu Mars tiba-tiba pingsan ke dalam pelukan suaminya.

“Pa, mama pingsan.”, Mars bersuara sedikit keras karena terkejut.

Aku dapat melihat Mars dan juga ayahnya panik membawa ibu Mars menuju kamarnya. Aku sungguh tidak mengerti mengapa semuanya terjadi seperti ini.

Aku, Mars dan Ayahnya kini sedang menunggu ibu Mars untuk siuman. Satu jam telah berlalu dan dia masih belum sadarkan diri. Aku menjadi semakin khawatir saja pada ibu Mars.

“Flora..”, aku terkejut ketika mendengar namaku dipanggil dengan lembut oleh Ibu Mars yang terlihat baru saja terbangun dari pingsannya.

Aku segera menghampiri ke arahnya. “Iyatante?”

Ibu Mars memegang tanganku erat, lalu menangis tersedu-sedu.

Tidak hanya aku, mungkin Mars juga pasti sangat bertanya- tanya mengapa situasinya bisa menjadi seperti ini?

“Kamu dan Mars tidak bisa bersama-sama.”, ibu Mars kembali bersuara, suaranya bergetar karena ia menangis.

Aku dan Mars sama- sama membelalakan mata ketika mendengar pernyataan itu.

Apa mereka tidak menyukaiku? Apa mereka tidak mau Mars berhubungan dengan orang sepertiku? Apa aku tidak pantas untuk orang sesempurna Mars?

“Ma, mama ngomong apa sih?”, Mars  bertanya dengan penuh emosi. Karena dapat aku lihat, rahang Mars mulai menegas.

“Mama kamu benar Mars. Kalian tidak bisa bersama-sama. Akhiri hubungan kalian saat ini juga.”, kini aku mendengar kalimat itu dari ayah Mars. Ayah Mars mengucapkan kalimat itu dengan tegas, lebih tegas dari yang ibu Mars ucapkan.

“Kalian kenapa sih? Mars gak ngerti. Sebenarnya ini ada apa?”, Mars kembali bertanya dengan emosinya yang menggebu.

Tubuhku bergetar hebat, keringat mulai bercucuran dari pelipisku. Air mata yang aku coba tahan sedikit demi sedikit sudah membebaskan diri dari tempatnya.

“Flora adalah kakak kamu, Mars.”

Apa aku tidak salah dengar?

“Kalian adalah saudara kandung.”

Aku membelalak mendengarnya, aku bahkan merasa bahwa saat ini aku sedang tidur dan didatangi mimpi buruk.

Bagaimana bisa?

Aku dan Mars?

Kakak dan Adik?

Aku merasa dunia benar- benar mempermainkanku sekarang.

“Setelah kami meninggalkan Flora di panti asuhan. Beberapa bulan kemudian ibumu

mengandungkamu, Mars.”

“Kalung yang dipakai Flora sama dengan kalung yang kami berikan pada kakak kamu. Kami meninggalkan kakak kamu tepat di depan pintu Panti Asuhan Sinta Kasih. Jadi akhirilah semua ini, kalian adalah saudara kandung.”

Bukan lebih baik, duniaku serasa semakin hancur saja ketika mengetahui kenyataan ini semua.

Dunia ini benar- benar enggan melihat kebahagiaanku.

Aku menyerah.

***

Hai.. Aku Flora.

Dan inilah kehidupanku yang menyedihkan.

Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Akuntansi Syari’ ah UIN Bandung

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments