JURNALPOSMEDIA.COM— “Menyorot Keresahan Masyarakat, Memahami Peran Media dalam Politik Demokrasi” menjadi tema Jurnalistik Festival (Jurnival) 2019. Acara tersebut diselenggarakan oleh Boulevard ITB. Talk show dan diskusi publik ini menyoroti pandangan pembicara mengenai peran media, dalam politik demokrasi pada saat ini. Acara dilaksanakan di Auditorium Lo.ka.si Coffee and Space Dago, Kota Bandung, Sabtu (2/11/2019).
Talk show Jurnival mendatangkan empat pembicara. Diantaranya, Ketua Komisi Pengaduan Mayarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers, Agus Sudibyo, Pendiri Aliansi Jurnalis Independen dan Ketua Dewan Pers 2016-2019, Yosep Stanley. Lalu, Redaktur Tempo sekaligus Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan dan Presiden KM ITB 2019/2020., Royyan Abdul Dzakiy.
Dalam diskusi berlangsung, Royyan menitik beratkan tentang peran media dalam gerakan mahasiswa pada 24 September lalu. Memperjelas kegiatan gerakan mahasiswa mereka dibantu oleh peran media massa. Terlihat saat ia dan teman-teman perwakilan dari Universitas lainnya disorot oleh publik, akibat peran media massa yaitu televisi.
Royyan dan teman-temannya pada saat itu diberi kesempatan untuk berbicara ke publik lewat salah satu acara televisi. Adapun, efek yang ditimbulkan oleh televisi bagi gerakan mahasiswa pada saat itu. Tidak hanya media massa, media sosial juga membantu Royyan dan teman-teman mengkoordinir massa aksi agar tetap waspada.
“Terbantu sekali dan pengaruhnya sangat cepat. Apalagi pada saat itu butuh media yang efektif pada saat-saat genting itu,” ujar Royyan.
Agus sudibyo juga menambahkan bahwa pada saat ini “media mainstream” sudah bukan televisi, radio, dan surat kabar lagi. Media mainstream atau yang disebut new media saat ini adalah search engine, media sosial, dan e-commerce. Televisi, radio, dan surat kabar saat ini telah menjadi media konvensional. Terlihat dari publik yang lebih memilih media sosial untuk memperoleh informasi, pendidikan, bahkan hiburan.
Namun, Agus mengatakan, media sosial merupakan ruang publik yang bebas. Artinya, tidak ada yang membatasi gerak penyebaran informasi, semua orang dapat mengakses dan menyebarkan informasi tanpa batasan. Menurut Agus, padahal informasi yang istilahnya ‘valid’ yaitu yang disebarkan oleh media massa televisi, media siber. Serta yang dinaungi UU Pers dan dibatasi oleh Kode Etik Jurnalistik.
Lebih lanjut, Agus mengungkapkan, tantangan bagi media massa yaitu bagaimana menyajikan sesuatu yang berbeda dari media sosial. Menjadi sumber informasi yang baik dan tidak partisan.
“Walaupun hampir semua dari kita juga bisa atau butuh menyebarkan informasi lewat media sosial. Jangan sampai jadi buzzer yang menyesatkan. Jadilah buzzer yang transparan dan menggunakan media sosial untuk menyebarkan hal baik dan positif,” ungkapnya.
Stanley menambahkan, pers merupakan pilar ke-empat demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Didukung adanya batasan oleh UU 40 tahun 1999 tentang pers. Ia mengatakan, sejauh mana pers Indonesia menjadi control sosial. Inti fungsi control sosial menurut Stanley adalah tidak sekedar membuat orang mengetahui. Tetapi, menggugah kesadaran public, mendorong public untuk bersikap dan bertindak, memiliki intensi agar pemegang kekuasaan bertindak atau melakukan perubahan.
Pembicara terakhir, Abdul Manan, berbicara tentang rambu dasar wartawan yaitu UU Pers, kode etik, dan nilai-nilai Jurnalisme. Bahwa pembatas keberpihakan jurnalis dan media adalah Kode Etik Jurnalistik. Ia juga berbicara tentang arti kata berpihak vs netralitas.
“Boleh media berpihak, asalkan ada batasannya yaitu kode etik jurnalistik dan tentunya berpihak ke kepentingan publik,” pungkasnya.