JURNALPOSMEDIA.COM – Tepat 17 hari setelah peringatan Hari Kartini, bidang Intelektual dan Sosial Hima Jurnalistik mengadakan diskusi daring bertema “Perempuan dan Feminisme”. Kegiatan tersebut menghadirkan Ketua Umum Women Studies Center (WSC) UIN Bandung, Bilqi Girbalyan sebagai pemantik diskusi pada Kamis (7/5/2020).
Digelar via Whatsapp, Bilqi memulai diskusi dengan memaparkan perbedaan seks dan gender sebagai patokan utama lahirnya feminisme, “Seks merupakan kodrat dari Tuhan yang tidak bisa diubah dan mengacu pada biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender adalah pelabelan yang dibuat oleh masyarakat, bentuknya berupa sifat yang ditanamkan dalam diri perempuan dan laki-laki,” ujarnya.
Bilqi menjelaskan bias gender melahirkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Hal tersebut yang melatarbelakangi lahirnya paham atau gerakan perempuan yang disebut feminisme pada abad 18. Gerakan itu memperjuangkan emansipasi yakni menuntut hak-hak dan keadilan bagi kaum perempuan.
“Feminisme dibagi menjadi 3 gelombang. Pertama, gelombang yang ditandai dengan gerakan akan kesetaraan. Gelombang kedua, berusaha mempertanyakan eksistensi perempuan itu sendiri. Lalu gelombang ketiga, mengkritik gerakan feminisme gelombang 1 dan 2, karena mereka tidak lagi menuntut kesetaraan. Namun, lebih menuntut kebebasan mengekspresikan diri dan memunculkan feminisme interseksional,” kata Bilqi.
Ia melanjutkan, beragamnya pemikiran feminisme seringkali menimbulkan kontradiksi satu sama lain. Begitupun perbedaan aliran-aliran tersebut menghasilkan diskursus feminisme. Hal itu dikarenakan kondisi perempuan yang beragam dan berbeda-beda, sehingga dapat dikatakan semua aliran feminisme tersebut bisa saling melengkapi.
Perkembangan feminisme di Indonesia dimulai sejak abad ke-20. Menurut Bilqi, gerakan feminisme di Indonesia sangat beragam dan saling melengkapi, “Dimulai dari gerakan perempuan Islam seperti Aisyiyah dari Muhammadiyah, Perhimpunan Istri Sedar, Wanita Katolik RI, dan lainnya. Lalu pada awal kemerdekaan, lahirlah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang tuntutannya melanjutkan perjuangan organisasi perempuan sebelumnya,” terangnya.
Bilqi mengatakan gerakan perempuan saat ini lebih berkembang dan memiliki tuntutan yang lebih luas. Bukan hanya mencakup kesetaraan dan ranah domestik saja, melainkan kebebasan ekspresi gender akan diri masing-masing. Namun kenyataannya, Bilqi mengatakan hingga saat ini masih banyak peristiwa yang merendahkan banyak perempuan. Seperti kasus pelecehan dan diskriminasi yang terjadi di ranah pendidikan, sosial dan politik.
Banyak pertanyaan yang diajukan oleh peserta diskusi, salah satunya dari mahasiswi Universitas Padjajaran, Ata Ithhar. Ia mempertanyakan cara mengubah pola pikir perempuan yang belum sadar akan kesetaraan gender. Selain itu, ia juga menggaungkan semangat berupa ungkapan, “Hidup Perempuan Indonesia! Hidup Perempuan yang Melawan!”.
Mahasiswi UIN Bandung, Nisa Eka juga menyuarakan tanggapannya. Ia menyayangkan banyaknya tayangan pertelevisian Indonesia yang menjadikan perempuan sebagai objek dari budaya patriarki, “Sinetron banyak digemari oleh kalangan ibu-ibu, seperti sinetron azab yang sangat patriarki. Penontonnya rata-rata dari kaum menengah ke bawah yang kurang akan pengetahuan dan pendidikan,” kata Bilqi menanggapi.
“Langkah awal yang bisa kita lakukan adalah dengan menyebarkan nilai-nilai yang ramah akan gender dan feminisme. Selain itu, kita juga harus tingkatkan solidaritas kita sesama kaum perempuan agar lebih banyak lagi perempuan-perempuan yang sadar akan kesetaraan gender,” tutup Bilqi.