JURNALPOSMEDIA.COM – Banjir di Bandung kini bukan lagi kejadian alam yang tak terduga, melainkan menjadi hal yang terjadi setiap tahunnya dan menyisakan rasa sakit serta kerugian. Setiap kali hujan deras turun, terutama pada musim hujan, beberapa area di kota yang merupakan ibu kota Jawa Barat ini seolah sudah siap menampung genangan air, bahkan terjadi banjir yang membuat aktivitas warga terganggu.
Beberapa kecamatan yang sering mengalami banjir adalah Kecamatan Andir, Astanaanyar, Babakan Ciparay, Bandung Kulon, Bandung Kidul, Panyileukan, Batununggal, Bojongloa Kidul, Bojongloa Kaler, Rancasari, Kiaracondong, Cibiru, dan Kecamatan Buahbatu. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Apakah banjir ini hanya sekadar ‘hadiah’ dari alam, atau justru menunjukkan kegagalan dalam perencanaan dan pengelolaan kota yang berkelanjutan?
Alami kondisi ini menjadikan kota sebagai wadah besar yang menampung air dari daerah di atasnya, terutama dari wilayah Bandung Utara dan Timur. Namun, argumentasi secara geografis sendiri tidak cukup untuk menjelaskan mengapa banjir yang terjadi sangat parah.
Dalam dua puluh tahun terakhir, pembangunan infrastruktur dan properti di Bandung Raya berkembang sangat cepat, sering kali tanpa memperhatikan kemampuan lingkungan untuk menyerap air. Hutan kota dan area resapan alami di wilayah utara, yang seharusnya berfungsi sebagai penapis dan penyimpan air, kini banyak berubah menjadi kompleks perumahan, villa, hotel, dan fasilitas komersial lainnya. Perubahan fungsi lahan secara besar-besaran mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air hujan, sehingga volume air yang besar terpaksa mengalir langsung ke sungai dan saluran drainase kota.
Saluran air menjadi bukti bahwa sistem drainase di pusat kota gagal. Masalah ini semakin rumit karena sistem pembuangan air Bandung, sebagian besar merupakan hasil dari masa kolonial, tidak mampu lagi menampung volume air yang jauh melebihi kemampuannya. Banjir yang terjadi di belasan kecamatan seperti yang sudah disebutkan menunjukkan bahwa masalah ini tidak hanya terjadi di satu area saja, melainkan merupakan kegagalan sistem yang menyeluruh, mulai dari daerah padat penduduk seperti Andir dan Astanaanyar hingga kawasan perkembangan baru seperti Panyileukan dan Cibiru. Alih-alih diperbaiki atau ditingkatkan secara menyeluruh, saluran air sering kali terblokir karena sampah dari rumah tangga dan endapan tanah akibat erosi di daerah atas.
Pemerintah Kota Bandung sudah mencoba berbagai cara, seperti membuat sumur penyerap air, kolam penampungan air, dan membersihkan saluran air secara rutin. Namun, usaha ini terasa seperti hanya memperbaiki gejala, bukan memecahkan masalah secara akar. Proyek-proyek besar yang seharusnya bisa jadi solusi jangka panjang, seperti terowongan air atau normalisasi sungai, seringkali tertunda atau tidak berjalan karena masalah perekrutan lahan dan proses birokrasi yang rumit.
Kesalahan dalam perencanaan kota ini jelas bukan hanya soal teknis, tapi juga mencerminkan prioritas kebijakan kota. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) terlihat lebih fokus pada kepentingan ekonomi jangka pendek, seperti pembangunan dan investasi, daripada pada keberlanjutan lingkungan dan kenyamanan warga.
Jika Pemerintah Kota Bandung terus berlindung dengan alasan ‘hujan deras’ atau ‘faktor alami’, maka warga di puluhan kecamatan tersebut akan terus terkena dampaknya. Banjir di Bandung adalah tanda merah bagi perencanaan kota yang tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat dan janji politik yang tidak terpenuhi. Waktu sudah tepat untuk menuntut tanggung jawab, bukan hanya pada alam, tetapi juga pada para pengambil kebijakan yang gagal membuat Bandung menjadi kota yang tangguh dan layak huni.
















