JURNALPOSMEDIA.COM – Di sebuah sudut Perumahan PPL Blok D3 No. 2, Panenjoan, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, aroma gurih mie berpadu rempah khas menyambut siapa saja yang melintas. Kedai sederhana itu bernama Kedai Nas, dan menu andalannya bukan mie ayam atau bakso seperti kebanyakan, melainkan mie tulang hidangan unik yang justru lahir dari sebuah ketidaksengajaan.
“Awalnya saya cuma jual cilok. Lalu ada tetangga yang iseng minta, ‘kalau mie-nya mie tulang bisa nggak?’ Dari situ saya coba bikin dengan resep sendiri, ternyata banyak yang suka,” kenang sang pemilik Kedai Nas, Siti Sri Mulyati, saat diwawancarai Jurnalposmedia pada Sabtu, (27/9/2025).
Sejak berdiri sekitar tahun 2016–2017, usahanya yang awalnya kecil-kecilan kini berkembang pesat.
Membangun usaha kuliner bukan perkara mudah. Siti tak menampik bahwa masa-masa sepi pembeli menjadi tantangan berat. Namun, dengan kesabaran dan keyakinan bahwa produknya enak, perlahan pelanggan pun berdatangan. Menariknya, Kedai Nas tidak mengandalkan strategi pemasaran canggih. Promosi terjadi secara alami melalui mulut ke mulut dan unggahan pelanggan di media sosial.
“Saya sendiri tidak aktif di media sosial, akun toko juga ada tapi tidak pernah aktif,” katanya.
Kedai Nas memiliki beberapa menu, namun mie tulang tetap menjadi bintang utama. Dalam sehari, Siti bisa menjual hingga 100 porsi. Dari anak sekolah yang mampir sepulang belajar hingga orang dewasa yang sengaja datang dari jauh, semua kalangan menikmati racikan mie tulang khas Kedai Nas. Meski usahanya terus berkembang, Siti punya pandangan unik soal masa depan Kedai Nas. Ia tidak tergoda membuka cabang.
“Saya ingin kedainya tetap satu saja, agar rasanya konsisten. Lebih berkesan kalau orang rela datang jauh-jauh ke sini,” tuturnya.
Salah satu pelanggan setianya sejak SMA, Muhammad Daffa Akram. Ia masih ingat betul pertama kali diajak teman untuk mampir ke Kedai Nas. Baginya, mie telur dengan topping sederhana seperti bawang goreng, daun bawang, dan jeruk nipis sudah cukup bikin ketagihan.
“Yang bikin beda itu bumbunya. Kita bisa pilih tingkat pedas dan kepekatannya, rasanya konsisten dari dulu sampai sekarang. Harganya murah, enak, worth it banget,” ujarnya.
Sebuah harapan datang dari pelanggan. Daffa misalnya, hanya ingin satu hal yaitu rasa dan bumbu Kedai Nas tidak pernah berubah.
“Kalau bisa kedainya juga lebih luas, soalnya sekarang pembelinya ramai banget setiap hari,” katanya.
Kedai Nas bukan sekadar tempat makan, melainkan ruang perjumpaan antara konsistensi rasa, loyalitas pelanggan, dan tekad seorang ibu untuk terus bertahan. Dari iseng mencoba resep hingga menjadi ikon kuliner lokal, mie tulang Kedai Nas membuktikan bahwa keunikan, kesabaran, dan rasa yang tulus bisa menjadikan sebuah usaha bertahan hampir satu dekade.