JURNALPOSMEDIA.COM- Pada pertengahan Juli 2025, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengungkap adanya anomali harga beras: di masa panen raya, harga gabah dan beras di tingkat petani turun, namun harga di tingkat konsumen justru melonjak dan menjadi sesuatu yang mencurigakan.
Dikutip dari Detiknews.com, Investigasi yang dilakukan pada 6–23 Juni 2025 oleh Kementerian Pertanian bersama Satgas Pangan Polri dilakukan di 10 provinsi penghasil beras terbesar. Dari 268 sampel, ditemukan bahwa 212 merek beras, baik medium maupun premium, tidak memenuhi standar mutu, harga, maupun berat kemasan.
Temuan Utama & Skala Kerugian
Dikutip dari Kementerian Pertanian RI, Laporan Investigasi Pangan Nasional terdapat temuan utama dan skala kerugian yang dialami.
- 85,56% dari merek beras premium tidak memenuhi standar mutu.
- 59,78% dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
- 21,66% berisi berat nyata lebih ringan dari label yang tercantum.
Untuk beras medium, ketidaksesuaian mutu mencapai 88,24%, dan hingga 95,12% dijual meleibihi HET.
Akibat praktik ini, pemerintah memperkirakan kerugian Masyarakat mencapai Rp99 – Rp99,35 triliun/tahun. Jika terjadi selama satu dekade, total kerugiannya bisa mendekati Rp1.000 triliun.
Modus Operandi & Tersangka
Dikutip dari Kompas.com, polisi telah memproses setidaknya 52 perusahaan produsen beras premium dan 15 produsen beras medium. Dari hasil investigasi awal, lima merek dinyatakan melanggar standar mutu, yaitu Setra Ramos (merah dan biru), Setra Pulen, Sania, Jelita, dan Anak Kembar. Merek-merek tersebut diproduksi oleh PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), dan Toko SY.
Modus pelanggaran yang ditemukan meliputi pencampuran beras medium atau berkualitas rendah ke dalam kemasan beras premium, penyetelan mesin pengemasan untuk memenuhi berat kemasan secara artifisial, serta penggunaan label yang menyesatkan tanpa kontrol kualitas yang memadai.
Dampak & Tanggapan Pemerintah
Dikutip dari CNBC Indonesia, Pengamat pertanian dan ekonomi seperti Bhima Yudhistira menyebut kasus ini sebagai “kejahatan berjemaah” dan mendesak pembenahan kebijakan dari sisi hulu: ketimpangan antara Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terhadap gabah dengan HET beras menjadi pemicu utama praktik pengoplosan.
Kementerian Pertanian sudah menyerahkan seluruh data kepada Polri dan Kejaksaan. Pihak berwenang kini bergerak melakukan penyidikan, penggeledahan gudang, penyitaan hingga pemeriksaan izin edar yang kadaluwarsa.
Kesimpulan
Skandal beras oplosan yang terungkap pada Juni-Juli 2025 menimbulkan dampak besar secara ekonomi dan kepercayaan publik. Praktik yang sistemik ini merugikan konsumen miliaran rupiah per tahun, memperlihatkan lemahnya pengawasan mutu dalam rantai pasok pangan nasional.
Pemerintah mendorong berbagai Langkah:
- Penyidikan hukum terhadap produsen dan distributor.
- Perbaikann kebijakan harga hulu (HPP dan HET).
- Pemberian sanksi administratif dan pencabutan izin usaha.
- Penarikan produk bermasalah dari peredaran















