JURNALPOS – Saat ini masyarakat Indonesia mendapat kabar buruk tentang beredarnya vaksin palsu untuk anak-anak. Dimana fungsi vaksin adalah sebagai bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau liar.
Pemerintah dinilai lalai akibat tidak ketatnya pengawasan pengadaan vaksin tersebut sehingga meresahkan masyarakat. Keresahan lain masyarakat yaitu ketidakberdayaan mereka dalam memilih atau membedakan vaksinasi asli dengan yang palsu. Karena seharusnya penggunaan vaksin tidak bisa langsung oleh masyarakat, tetapi harus melalui institusi dan tenaga kesehatan.
Lamanya praktik pemalsuan vaksin adalah wujud Kementrian Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang tidak menjalankan fungsinya sesuai kapasitas. Sehingga oknum-oknum ini dapat merusak fungsi vaksin untuk anak-anak. Penyidik menyatakan bahwa sindikat pemalsu vaksin telah memproduksi vaksin palsu sejak 2003 dan telah beredar di seluruh Indonesia.
Wilayah penyebaran vaksin palsu tak hanya di Jakarta, tetapi juga Jawa Barat, Semarang, dan Medan. Vaksin palsu dibuat dengan cara menyuntikkan cairan infus dicampur dengan vaksin tetanus. Hasilnya yakni vaksin palsu untuk hepatitis, BCG, dan campak. Harga vaksin palsu di jual lebih murah dibanding vaksin asli.
Polisi akan menjerat para tersangka pembuat vaksin palsu dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun. Tidak hanya itu, tersangka juga dijerat UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kementrian Kesehatan dan BPOM seharusnya lebih ketat lagi dalam mengawas jalan kerja institusi dan tenaga kesehatan yang ada di Indonesia, sehingga tidak terjadi lagi hal-hal yang dapat merugikan masyarakat. Dan para tersangka agar dihukum yang seberat-beratnya untuk memberikan efek jera karena telah menyalahgunakan alat-alat kesehatan.