Tue, 1 April 2025

Wanita Dalam Jeruji Rezim Patriarki

Reporter: Putri Restia Ariani/Magang | Redaktur: Lisna | Dibaca 605 kali

Thu, 10 May 2018
Ilustrasi oleh Google.
Sumber: Liputan6.com

JURNALPOSMEDIA.COM– Dalam etimologi bahasa Jawa, wanita diterjemahkan sebagai ‘Wani Ditoto’, yang berarti berani diatur. Secara tersirat artinya bisa bermakna sulitnya bagi seorang wanita untuk memiliki kendali bagi dirinya sendiri, baik di masyarakat, atau lebih jauh terjun dalam panggung politik.

Kilas balik terpasungnya hak wanita yang begitu kentara terjadi di era rezim alergi komunis yaitu Orde Baru. Pergerakan wanita begitu merayap seiring dengan klaim pemerintah bahwa  Gerwani  terlibat dalam pemberontakan 65. Imbasnya organisasi wanita lainnya dianggap membahayakan pemerintah dan sama sekali tidak menguntungkan rezim.

Pemerintah saat itu begitu piawai dalam membatasi ruang gerak para wanita. Orientasi organisasi diatur sedemikian rupa layaknya berpegang pada paham “Dukung Santai, Kritik Bantai”, tiap organisasi direkontruksi menjadi satu tujuan yaitu mendukung kebijakan rezim dan dilarang melempar segala bentuk kritik terhadap rezim.

Dharma Wanita dan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) merupakan wadah baru pemerintah saat itu untuk melakukan para wanita ke ranah yang bersifat ‘keluarga’. Baik Dharma Wanita dan PKK diisi oleh istri dari pejabat pemerintahan dan ABRI dengan program yang begitu ‘ke ibuan’ dan ‘ke istrian’.

Seperti program menjadi ibu yang baik untuk anak, menjadi istri yang tunduk terhadap suami, dan  menjadi istri yang pintar mengelola rumah tangga. Dilihat dari programnya merupakan suatu hal yang mulia. Tetapi kegiatan-kegiatan ini dibuat pemerintah sebagai politik pengalih perhatian agar perempuan tidak lagi tertarik dengan organisasi politik dan tidak kritis terhadap pemerintahan.

“Sistem yang dijalankan di dalam organisasi ini menitik beratkan pada suami, semakin suami mempunyai kenaikan karir politik atau jabatan, istri akan mengikuti kenaikan karir menjadi pengurus organisasi yang lebih tinggi. Misalnya ketika suami menjadi bupati, maka istri menjadi Ketua Pengurus PKK Kabupaten, padahal sebelumnya istri hanya menjabat sebagai Ketua Pengurus PKK Kecamatan,” tulis Seniman Indonesia Danang Pamungkas dalam Braindilog Sosiologi Indonesia.

Kemandirian wanita dalam berpolitik tampak nihil dan hanya bergantung pada pangkat atau jabatan suami, karena pangkat suami berpengaruh pada posisi istri, apakah ia akan duduk sebagai ketua atau hanya sebatas anggota dalam organisasi. Hal ini tentu saja menimbulkan kecemburuan sosial, karena perbedaan status sosial.

Rezim Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun, telah membentuk jalanan berbatu bagi wanita untuk berpartisipasi di masyarakat maupun kancah politik hingga kini. Dominasi sistem politik patriarki Orde Baru menyulitkan wanita dalam mengorganisir gerakan sosial, ataupun terjun dalam dunia politik.

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments