Wed, 1 October 2025

Vonis Tom Lembong: Kekeliruan Hukum atau Keadilan Hukum?

Reporter: MEGA NURIATI | Redaktur: FATHIA KAPPARINI | Dibaca 701 kali

Sun, 27 July 2025
(Sumber : Republika)

JURNALPOSMEDIA.COM – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan vonis empat tahun enam bulan penjara serta denda sebesar Rp750 juta subsider enam bulan kurungan kepada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), pada Kamis (18/7/2025). Vonis tersebut diberikan atas kebijakan impor gula tahun 2015–2016 yang dinilai bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan merugikan negara.

Dikutip dari Kompas.com, majelis hakim menyatakan bahwa Tom Lembong melanggar aturan karena mengeluarkan izin impor tanpa regulasi teknis yang sah. Dalam pertimbangannya, hakim juga menilai bahwa kebijakan tersebut berpihak pada mekanisme pasar dan cenderung mengesampingkan prinsip ekonomi Pancasila. Meskipun begitu, hakim mengakui bahwa tidak terdapat bukti aliran dana kepada Lembong, dan terdakwa juga bersikap kooperatif selama proses hukum.

Selain itu, dilansir Merdeka.com, dalam pernyataannya usai sidang, Tom Lembong menyebut bahwa dirinya tidak memiliki mens rea dalam pengambilan keputusan. Ia mengklaim bahwa sebagai menteri kala itu, ia menggunakan diskresi administratif untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga gula nasional.

Sebagaimana dikutip dari MetroTV News, Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) sekaligus pakar hukum tata negara, Mahfud MD menyatakan bahwa putusan terhadap Tom Lembong dinilai keliru secara hukum karena tidak ditemukan unsur kejahatan. Ia menekankan bahwa hukuman hanya boleh dijatuhkan jika terdapat niat jahat. Prinsip hukum pidana geen straf zonder schuld seharusnya ditegakkan, sehingga tanpa mens rea, vonis itu tidak memiliki landasan yang kuat. Selain itu, Mahfud menilai pemeriksaan hakim terlalu memfokuskan pada kerugian negara tanpa menilai konteks administratif di balik kebijakan yang diambil Tom Lembong.

Mahfud menekankan pentingnya kehati-hatian dalam membedakan pelanggaran administratif dan tindak pidana, terutama dalam konteks pengambilan kebijakan publik. Menurutnya, jika hukum digunakan untuk menghukum pejabat yang menjalankan tugas tanpa niat jahat, maka ruang diskresi bisa tergerus oleh ketakutan.

Di sisi lain, Kejaksaan Agung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum), Anang Supriatna, menyatakan bahwa proses hukum telah berjalan sesuai prosedur dan mengajak publik untuk menghormati putusan pengadilan. Hak hukum Tom Lembong untuk mengajukan banding juga diakui sepenuhnya.

Namun, publik pun bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang dihukum? Kebijakan yang keliru? Pelanggaran prosedur? Atau karena Tom Lembong adalah satu-satunya yang tak punya pelindung politik? Seperti yang diberitakan, posisi Tom disebut paling lemah di antara jajaran pejabat terkait. Ia tak punya dukungan kekuasaan yang cukup kuat, hingga akhirnya menjadi satu-satunya yang dijadikan tersangka.

Dalam sidang putusan, hakim menyebut bahwa meskipun Tom tidak menikmati hasil korupsi, kerugian negara tetap terjadi. Tapi logika publik tidak sesederhana itu. Di banyak kasus, niat dan keuntungan pribadi menjadi syarat utama dalam menetapkan seseorang bersalah dalam perkara korupsi.

Jika hukum tidak lagi mempertimbangkan niat, seseorang bisa dihukum hanya karena posisinya lemah dan tidak populer secara politik, maka keadilan tidak lagi berpihak pada kebenaran. Ia hanya menjadi alat untuk menunjukkan siapa yang paling mudah disalahkan.

Kasus Tom Lembong mencerminkan dilema klasik antara diskresi dan pidana. Jika ruang pengambilan keputusan strategis terus dibayang-bayangi ancaman hukum, maka yang akan  dihukum bukan hanya individu, tetapi juga mematikan keberanian untuk bertindak.

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments