JURNALPOSMEDIA.COM – Masyarakat Indonesia belakangan ini kerap dilanda kegusaran. Hal itu tak lain bermuara dari kebijakan pemerintah yang dianggap kurang matang, atau bahkan terkesan tanpa pertimbangan. Alih-alih membawa angin segar, justru perubahan yang dihadirkan hanya membawa kerumitan-kerumitan baru. Kebijakan pemerintah dianggap terlalu polemis, dan memandang sebelah mata partisipasi publik.
Dilansir dari BBC News, seorang pakar mendefinisikan kebijakan pemerintah yang sering melakukan koreksi dengan istilah viral based policy, atau keputusan menganulir kebijakan setelah ramai polemik di khalayak luas. Selain itu, analis dari kebijakan publik Nalar Institute menyebut pola “memperbaiki kebijakan” yang senantiasa terjadi dapat memengaruhi kredibilitas pemerintah di mata masyarakat.
Larangan penjualan LPG eceran menjadi salah satu bukti kebijakan yang kontroversial. Pada awalnya, kebijakan ini bertujuan untuk menata dan mengatur distribusi supaya tepat sasaran. Namun, kenyataannya kebijakan larangan penjualan eceran LPG 3 kg justru mempersulit masyarakat kecil, sebab realitanya aturan ini malah menambah beban logistik dan transportasi karena masyarakat harus membeli dari pangkalan resmi.
Selain itu, penambangan di Raja Ampat pun menjadi polemik yang hangat diperdebatkan oleh publik, sebab lima perusahaan tercatat memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat. Dari kelimanya, satu entitas PT Gag Nikel, terafiliasi dengan PT Antam, perusahaan milik negara. Keputusan ini sontak mendapat respon dari beberapa aktivis lingkungan, seperti Greenpeace yang gerak cepat untuk melakukan langkah korektif atas kecerobohan pemerintah dalam mengelola SDA milik negara.
Berbagai kritik masyarakat terhadap kebijakan publik yang dinilai tidak ideal memperlihatkan bahwa masyarakat peduli atas langkah yang diambil otoritas. Persoalan ini pun tak luput dari perhatian pengajar Administrasi Publik di Universitas Airlangga, Nurul Jamila Hariani.
“Harusnya ini menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk bagaimana caranya bisa mengakomodir suara-suara dari masyarakat yang mungkin sebelumnya tidak ada,” ucap Nurul.
Kekhawatiran ini muncul diakibatkan oleh kebijakan viral yang berintensitas tinggi. Hal tersebut dapat memberikan gambaran bahwa pemerintah kita tidak belajar, dan mengevaluasi setiap kebijakan yang sudah diambil.
Jika kita merefleksi kembali, hulu dari berbagai permasalahan adalah komunikasi. Jika koordinasi antara presiden dan menterinya saja belum solid, bagaimana dengan kebijakan strategis lainnya. Maka, hal-hal fundamental seperti komunikasi seharusnya menjadi aspek yang paling diperhatikan sebelum melangkah pada perumusan kebijakan strategis. Tanpa fondasi itu, kebijakan apa pun rawan miskomunikasi, dan kontraproduktif dengan tujuan nasional.
Maka dari itu, kebijakan pemerintah sudah seharusnya dianalisis dan dipertimbangkan secara mendalam. Keterlibatan publik pun perlu dilibatkan sebagai salah satu aspek yang dipandang secara serius oleh para pemangku kebijakan. Sudah seyogianya pemerintah menghindari kebijakan yang involutif, dan mendorong perubahan yang bermanfaat, baik dari segi konsep, kelestarian, maupun dari segi keberlanjutan.
















