Judul dari buku ini agaknya tidak sepadan dengan ukuran tubuhnya yang mungil. Dengan memamerkan judul ‘Televisi’ saja tanpa embel-embel lain di belakangnya, tentu akan mengundang tanya sebelum Anda beranjak membeli, dan mengaisnya untuk dibaca. Untuk itu, saya beri bocoran dulu sebelum berlanjut pada pembahasan.
Judul asli buku ini adalah Television: Technology and Cultural Form, sehingga dari sini saya kira para pegiat kebudayaan sudah dapat mengira ‘apa yang akan diceritakan buku ini’. Apalagi kalau sudah tahu penulisnya, Raymond Williams, seorang tokoh kenamaan Cultural Studies.
Buku ini terlahir dari kebingungan penulis pada tayangan televisi Amerika yang ia tonton di Miami pada 1973 silam. Kala itu berbagai iklan mengalir deras tak hentinya di sela-sela tayangan opera sabun (sinetron), ditambah rangkaian film yang saling mengikuti, dari satu film ke film lain dengan segeranya. Dari pengalaman pribadi ‘menonton televisi’ inilah, penulis berupaya meluruhkan rasa bingungnya dengan menyelesaikan buku ini. Uniknya, Williams menjawab kebingungan itu tidak hanya dengan data deskriptif berupa angka-angka saja, tapi juga menelisik lebih awal lagi tentang keberadaan televisi ini; sebagai teknologi dan bentukan kultural yang tidak sekali jadi.
Kausalitas Televisi dan Masyarakat
Berbicara dua hal di atas, biasanya bahasannya tak jauh dari ‘dampak’ televisi bagi masyarakat. Kita mungkin akrab pada pernyataan “Terciptanya tatanan masyarakat baru berkat televisi”. Pernyataan demikian tidak diamini oleh Williams, menurutnya obrolan seperti itu terlalu general dan abstrak. Sehingga membuat kita luput pada pertanyaan yang lebih mendasar lagi historis untuk memahami tentang televisi tersebut.
Di sinilah Williams memulai obrolannya tentang televisi dengan pertanyaan sebab-akibat teknologi dan masyarakat secara praktis. Ada pertanyaan mendasar yang perlu kita pahami, yakni apakah yang kita bicarakan itu adalah teknologi atau penggunaan teknologi itu sendiri? Apakah yang kita bicarakan itu institusi-institusi yang bersifat niscaya, ataukah institusi yang bersifat partikular dan karena itu bisa berubah-ubah, apakah yang kita bicarakan itu isi atau bentuk teknologinya? (hal. 3).
Menurut Williams, umumnya pandangan tentang hubungan kausalitas televisi dan masyarakat ini secara garis besar terbagi dua. Pertama, teknologi dipandang sebagai suatu yang aksidental. Artinya, kelompok ini berpendapat bahwa perkembangan teknologi itu sendirilah yang menentukan semua penemuan apa saja yang mesti muncul (hal. 6). Sehingga pada kalimat selanjutnya, pandangan ini menganggap dampak dari teknologi adalah suatu yang aksidental, tanpa kehadiran televisi, maka dampak sosial atau kultural tertentu tak akan pernah terjadi. Pandangan ini disebut Williams sebagai opini determisme teknologi – pandangan yang dipandang cukup menguasai dalam melihat perubahan sosial selama ini.
Opini kedua pun menyatakan televisi sebagai teknologi yang aksidental. Bedanya, pandangan ini menyebutkan kalau televisi memiliki peran penting yang dapat mendeterminir tatanan masyarakat. Artinya, jika televisi tak pernah ditemukan pun masyarakat tetap menjadi sasaran manipulasi atau hiburan yang membuat pikiran kosong. Tentu, dengan cara yang berbeda dari televisi. Pandangan ini berbeda dengan determisnme teknologi, yang tidak memandang televisi sebagai suatu elemen yang melalui proses dan perubahan, yang sedang atau akan berlangsung. Selain itu, opini kedua ini menekankan faktor lain atas perubahan masyarakat, tidak pada teknologi televisi saja.
Posisi Willams sendiri terlihat di opini kedua, karena menolak pandangan determisme teknologi macam Mc Luhan, yang dipandang sebagai teori yang didasarkan pada metafora yang dibesar-besarkan, bahwa medium adalah pesan (hal. ix-x). Ia mencela teori Mc Luhan tersebut sebagai teori yang dibangun dua metafor (medium dan pesan) yang berwatak ideologis dan ofensif, bentuk formalisme yang kasar, terabstraksikan dari makna dan terpisah dari sejarah.
Dari awal-awal buku ini, penulis menyuguhkan pendapat yang bertentangan dengan dirinya. Kemudian barulah ia menguraikan pendapatnya, yang berawal dari pernyataan bahwa penemuan televisi bukanlah suatu penemuan yang berlangsung sekali atau beberapa kali kejadian saja. Namun ada proses yang kompleks, yang memungkinkan kita memahami secara perlahan dan penuh pertimbangan terhadap pengaruh televisi pada masyarakat.
Saya kira, pertanyaan “pengaruh televisi pada masyarakat” pun satu persoalan yang masih tergolong teburu-buru untuk menemukan jawabannya dalam buku ini. Karena perhatian penulis melebar ke segala aspek dalam perkembangan teknologi di masyarakat modern. Williams tak hanya menelusuri sejarah penggunaan televisi saja, tapi juga blusukan ke sejarah teknologi lain seperti listrik, fotografi, telegraf dan gambar bergerak, kemudian dihubungkan pada kelahiran televisi sebagai teknologi yang mandiri.
Model analisis dengan membetot sejarah satu teknologi dan dihubungkan dengan teknologi lainnya ini, dibahas juga dalam Sejarah Sosial Media: dari Gutenberg Sampai Internet (2006), karya Asa Briggs dan Peter Burke.
Adalah penting bahwa di zaman radio berjaya, para ilmuwan mulai mengenal pentingnya komunikasi lisan di masa Yunani kuno dan di Abad Pertengahan. Permulaan era televisi pada tahun 1950-an mendatangkan komunikasi visual dan mendorong timbulnya suatu teori media massa yang interdisipliner. Kontribusi dilakukan oleh ilmu ekonomi, sejarah, sastra, seni, ilmu politik, psikologi, sosiologi dan antropologi, dan itu semua menyebabkan timbul departemen komunikasi dan studi-studi budaya yang bersifat akademis.
Dari sekian banyaknya penemuan penting yang mempengaruhi perkembangan teknologi elektronik, adalah saat periode transisi mulai dari penemuan baterei oleh Volta sampai dengan terjadinya serangkaian demonstrasi induksi elektro-magnetik oleh Faraday yang segera diproduksinya generator-generator listrik. Periode ini menentukan serangkaian penemuan lain antara tahun 1800 dan 1831.
Sejarah Penggunaan Televisi
Keunggulan yang dimiliki oleh daya listrik sangat berkelindan dengan muculnya kebutuhan-kebutuhan industri baru (hal. 10). Dari kebutuhan industri inilah yang di kemudian hari sangat berperan penting dalam hubungannya dengan perkembangan teknologi elektronik lain, termasuk televisi.
Dalam teknologi komunikasi sendiri, penyempurnaan teknologi tersebut berawal dari munculnya masalah-masalah komunikasi dalam operasi militer. Masalah utama di tahap paling awal dalam penyempurnaan teknologi komunikasi, adalah berawal dari munculnya problem-problem dalam pengkomunikasian, dan pengontrolan operasi-operasi militer juga komersial yang semakin berkembang. Selain itu, pada tahap ini, secara tak langsung berhubungan juga dengan proses perkembangan teknologi transportasi, sebagai jawaban langsung terhadap perkembangan operasi militer dan komersial (hal. 25).
Telegraf, telepon, serta radio pada tahap awal menjadi faktor sekunder dalam kebutuhan sistem militer dan komersial. Namun seiring dengan dorongan kebutuhan sosial dan politik yang lain, kebutuhan pada perkembangan tahap selanjutnya pun muncul, yang membutuhkan penyempurnaan dalam operasi komunikasinya. Sehingga tujuan pengembangan teknologi tersebut adalah senapas dengan kebutuhan militer dan komersil.
Sementara itu, periode perkembangan penting dalam penyiaran suara terjadi pada tahun 1920-an. Setelah terjadinya kemajuan teknologi telegraf suara yang diciptakan demi kepentingan-kepentingan militer selama perang, muncullah suatu peluang ekonomi sekaligus kebutuhan dari bangunan sosial yang baru. Di kemudian hari, alat-alat teknologi penyiaran suara tersebut tidak lagi menjadi hak monopoli dari satu bangsa maupun kelompok pabrik mana pun, seiring dengan gairah pasar yang kian pesat.
Periode perkembangan televisi ini sebetulnya bisa muncul lebih awal, tapi perang dunia sempat melumpuhkannya. Perkembangan itu berlanjut seiring investasi dalam penyiaran ini mulai banyak yang masuk, sampai akhirnya makhluk ‘kotak’ itu bisa hadir di tiap ruang keluarga. Termasuk keluarga di Indonesia. Sebagaimana dalam uraian penelitian Memetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia (Yanuar Nugroho dkk, 2012). Menyatakan bahwa industri media di Indonesia mulai melesat di era reformasi, yang didorong oleh kepentingan modal. Bahkan arahnya sudah pada oligopoli dan pemusatan kepemilikan.
Kalau melacak lebih awal tentang kelahiran televisi di Indonesia, hal tersebut membawa kita pada tahun 1989. Saat keluarga Soeharto mulai terjun di industri media, tepatnya saat Bambang Trihatmodjo, putra ketiga Soeharto mendirikan RCTI. Delapan tahun sebelumnya, masa keemasan saluran TVRI terbunuh oleh titah Soeharto, yang melarang siaran iklan masuk ke televisi nasional tersebut. Dua hal ini telah menjadi bukti kalau kegiatan komersil (kapitalisme global) telah membuntuti tumbuh-tumbangnya televisi[1]
Memandang Televisi Lebih Jernih
Sebagaimana yang telah saya sebutkan dari awal, Raymond Williams menulis buku ini berangkat dari kebingungannya pada tayangan televisi Amerika. Saya kira, kebingungan tersebut pernah hinggap di tiap penonton televisi. Kalau pun tidak, saya menyarankan untuk merasakannya sekaligus patut dipelihara, bahkan bila perlu menindaklanjutinya sehinga bisa hadir buku macam ini. Karena dari kebingungan tersebut, kecambah pikiran kritis mulai tumbuh. Kalau sudah tumbuh, pengaruh televisi yang banyak dielu-elukan oleh teori determinisme itu akan bisa ditampik lebih dulu, tidak mempengaruhi kita mentah-mentah.
Soal obrolan tentang dampak dari televisi, kata Williams, kebanyakan bahasannya mengisolasikan medium televisi dari konteks yang lebih luas. Maka dari itu, setidaknya dengan membaca buku ini kita bisa tahu dan sadar; kalau realitas televisi tak seluas daun kelor, juga tak selebar ukuran diameter televisi itu sendiri.
[1] sebagaimana yang pernah diuraikan lebih detail oleh Eduard Lazarus Tjiadarma. Melebur Indonesia dalam Pasar Global Melalui Televisi, (remotivi.or.id/kupas) 2/12/2016.
Daftar Rujukan lain
Briggs, Asa & Burke, Peter. (2006). Penj. A. Rahman Zainuddin. Sejarah Sosial Media. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nugroho, Yanuar, dkk. (2012). Memetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia Jakarta: Centre for Innovation Policy and Governance.
Judul: Televisi | Juml. halaman: 218 | ISBN: 979-979-1097-63-5 | Penulis: Raymond Williams | Penyunting: Dian Yanuardy | Terbit: 2009 | Penerbit: Resist Book.