JURNALPOSMEDIA.COM – Siapa yang tidak mengenal sosok lelaki manis dan berselera romantis, Arifin Chairin Noer. Sutradara dari film G30S/PKI ini dikenal sebagai seniman teater dan perfilman yang menjunjung tinggi nilai humanis dan kritik sosial.
Arifin mulai tertarik dengan dunia sastra sejak saat sekolah, hingga akhirnya merantau ke Solo dan masuk sekolah kejurnalistikan. Sedangkan, untuk mendalami dunia seni peran, dia memilih bergabung dengan Lingkaran Drama Rendra serta himpunan sastrawan Surakarta.
Setelah dirinya mendapat banyak ilmu, ia tidak lantas puas begitu saja. Arifin melanjutkan kuliah di Yogyakarta dan bergabung dengan teater Muslim yang dipimpin oleh Mohammad Diponegoro. Saat usianya menginjak 27 tahun, ia hijrah ke Jakarta dan mendirikan teater “Ketjil” yang bernuansa kekeluargaan.
Dari situlah ia mulai dikenal dan menciptakan berbagai karya yang fenomenal. Film yang pertama kali ia sutradarai yaitu suci sang primadona (1977).
Proses Panjang Pembuatan Film
Dari berbagai film arahannya, film penumpasan pengkhianatan G30S/PKI adalah projek yang paling berkesan dan tidak terlepas dari sejarah yang panjang.
Ia menjadi sutradara yang beruntung ketimbang sutradara lainnya, karena dipercayai untuk menggarap film sejarah kolosal yang menghabiskan dana hingga Rp 800 juta bahkan menyentuh Rp 1 miliyar.Namun demikian, film garapannya itu menyita waktu dan pikirannya selama dua tahun penuh.
Film pengkhianatan G30S/PKI ini melibatkan 122 pemain utama dan 10.000 pemain figuran, dengan ratusan set film yang menyebar hingga ke seluruh Jakarta dan Bogor. Ketika awal pemutaran film ditayangkan di bioskop pada 1984, antrian mengular panjang di seluruh penjuru bioskop tanah air.
Ternyata, film garapannya tersebut berhasil menyita perhatian publik kala itu. Bahkan, film ini berhasil menghidupkan kembali distributor film luar daerah yang hampir padam.
Di Balik Layar Film
Di balik kesuksesannya menayangkan film bersejarah tersebut, Arifin menyebut jika hal ini merupakan pengalaman yang ‘gila’ dan ‘edan’. Sutradara ternama tersebut mengaku kewalahan mengatur ribuan casting dan membawahi seluruh proses pengambilan gambar secara bersamaan.
Ia mengaku mendedikasikan dua tahun hidupnya hanya untuk memikirkan kesempurnaan dari film yang dipesan pemerintah tersebut. Ia tidak ingin film tersebut tayang alakadarnya, pokoknya harus sempurna.
Penggarapan film dimulai dengan mencari berbagai referensi, saksi sejarah, serta menyiapkan properti semirip mungkin dengan yang aslinya. Penata busana yang sekaligus juga istrinya, Jajang C. Noer, bahkan mempertanyakan secara detail kepada Ir. Soekarno mengenai busana yang dikenakan oleh militer saat tragedi berdarah itu terjadi.
Pemilihan pemain juga dipikirkan dengan betul dan hati-hati. Ia lebih memilih pemain yang amatiran ketimbang pemain berparas tampan dan cantik. Baginya, yang terpenting adalah kemiripan perawakan pemain dengan tokoh aslinya. Ia bahkan memerintahkan asisten produksinya untuk turun langsung dan mencari orang yang mirip dengan tokoh asli.
Untuk tokoh Soekarno sendiri, ia berupaya mencari yang paling mendekati, namun dari sekian banyak pencariannya, dia tidak menemukan yang se-kharismatik Bung Karno. Pada akhirnya, pilihan Arifin jatuh kepada Umar Kayam.
Umar tidak menolak ditunjuk sebagai Soekarno, tetapi ia meminta agar nantinya jangan sampai film tersebut malah mendiskreditkan dirinya. Untuk mengisi suara pidato Bung Karno, Arifin juga tidak sembarang memilih, ia menunjuk Sujarwadi karena dirasa cukup mendekati.
Saat mensutradarai Film G30S/PKI tersebut, ia berupaya mengesampingkan idealismenya sebagai seniman. Istrinya Jajang C. Noer menyebutkan bahwa suaminya itu bahkan memberanikan diri untuk mencari narasumber dari PKI langsung, meskipun hasilnya nihil.
Film yang sampai saat ini menjadi kontroversi tersebut, ternyata menyimpan segudang cerita mendalam dari sang sutradara Arifin C Noer. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di usia 54 tahun pada 28 mei 1995.