Tue, 1 April 2025

Mengenal Alexithymia dan Menjaga Kesehatan Mental di Masa Pandemi

Reporter: Indri Gita Pertiwi/ Himaya Anisa S | Redaktur: Putri Restia Ariani | Dibaca 424 kali

Sat, 10 October 2020
kesehatan mental
Webinar bertajuk "Bottle of Emotion: Talk About Alexithymia" yang digelar Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia (ILMPI) dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia, Sabtu (10/10/2020).

JURNALPOSMEDIA.COM – Ikut bagian dalam mengampanyekan Hari Kesehatan Mental Sedunia, Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia (ILMPI) menyelenggarakan webinar bertema “Bottle of Emotion: Talk About Alexithymia”, Sabtu (10/10/2020).

Menurut Koordinator Pengembangan dan Pengkajian Keilmuan Nasional ILMPI, Alim Anggono, pihaknya menilai perlu ada pembahasan mengenai seseorang dengan karakteristik Alexithymia. Karakteristik itu memiliki arti kesulitan mengidentifikasi perasaan yang dialami. Terlebih, hal itu akan diperparah oleh situasi pandemi yang sedang terjadi.

“Webinar kali ini menyorot lebih pada individu yang menjadi surviver. Mengingat saat ini orang-orang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, maka pembahasan webinar merujuk pada kondisi psikologis individu yang tidak bisa mengidentifikasi keadaanya mentalnya sendiri,” jelas Alim, Rabu (7/10/2020) lalu.

Membahas pembicaraan secara umum, Psikolog Klinis RSPP (Pertamina Central Hospital) sekaligus dosen psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta, Nurul Adiningtyas mengatakan bahwa Alexithymia bukan gangguan mental. Melainkan, lebih mengacu pada karakteristik.

Nurul menjabarkan, Alexithymia dibagi menjadi dua dimensi, yakni defisit kognitif dan defisit afektif. Defisit kognitif diartikan sebagai kesulitan dalam mengenali, mendeskripsikan dan membedakan sensasi rangsangan emosional tubuh.

Adapun desifit afektif bermakna kesulitan dalam berbagi, menanggapi dan merasakan emosi. Lebih lanjut, Nurul pun mengungkapkan sejumlah gejala yang dimiliki seorang Alexithymia. Di antaranya, kurangnya fantasi dan imajinasi serta gaya berpikir logis dan kaku yang tidak memperhitungkan emosi.

“Ciri-cirinya lainnya yaitu terkesan sulit didekati, kaku dan tanpa humor. Kemudian sulit mengidentifikasi dan membedakan perasaan serta kesulitan mendeskripsikan perasaan kepada orang lain,” tambahnya dalam webinar yang diadakan pada Sabtu (10/10/2020) malam.

Alexithymia Selama Pandemi

Situasi dan kondisi pandemi juga diketahui dapat memperparah seseorang dengan karakteristik Alexithymia. Hal itu berasal dari dampak pandemi yang memicu perubahan aktivitas sehari-hari. Seperti munculnya aktivitas baru layaknya work from home (WFH), pembelajaran jarak jauh (PJJ), physical distancing serta protokol kesehatan.

Semua perubahan itu menimbulkan stres dengan kadar yang berbeda-beda pada tiap orang. Mengutip dari CDC (2020), Nurul mengatakan, masalah yang paling banyak muncul adalah perasaan terisolasi dan kesepian yang kemudian berpotensi meningkatkan stres dan kecemasan.

Lebih lanjut, dalam Breazele (2020), perasaan kehilangan dan tidak berdaya akibat perubahan yang besar dan mendadak juga menjadi masalah yang universal. Dampak perubahan itu pun dirasakan oleh salah satu mahasiswi Jurnalistik UIN Bandung, Jessica Fantastica yang menjalani perkuliahan daring hampir dua semester.

“Semester kemarin sempat ngerasain stres karena penugasan kuliah yang terlalu banyak. Ditambah lagi dengan jadwal kursus dan tugas-tugas kursus yang selalu ada di setiap pertemuan. Walaupun kadang sepele, tapi itu kadang ngebuat beban pikiran dan jatuhnya ke pola tidur yang enggak baik,” ungkapnya, Jumat (9/10/2020).

Guna memperkuat kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami perasaan serta mengajari diri sendiri tentang pengalaman subjektif orang lain, Nurul membagikan sejumlah cara. Pertama, menulis jurnal untuk menuangkan perasaan.

Berikutnya, membaca novel, mengikuti aktivitas seni ekspresif, psikoterapi individual seperti terapi kognitif, kemudian psikoterapi kelompok. Terakhir, mengikuti pelatihan hipnosis dan relaksasi. Nurul pun menyebutkan langkah awal yang dapat dilakukan untuk memahami emosi diri. Yakni terima, kenali, akui dan ekspresikan.

“Untuk menjaga kesehatan mental selama pandemi, jaga jarak fisik yang aman dari virus dengan 3 M. Kemudian batasi media untuk mengurangi kecemasan. Lalu dapatkan dan berikan dukungan sosial yang hangat dan nyaman melalui video, telepon atau pesan teks,” terangnya.

Ia pun menyarankan agar menemukan cara untuk menyebarkan kebaikan, kesabaran dan kasih sayang. Kemudian, menciptakan rutinitas baru dan terus mempraktikkan perilaku hidup sehat. Serta, bekerja cukup baik dari rumah dan mengubah cara pandang tentang pandemi.

Salah satu mahasiswa Teknik Kardiovaskuler Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Bagus Rachmat Febrianto juga berbagi pandangan mengenai kepeduliannya akan kesehatan mental.

“Untuk mendukung kesehatan mental mulanya diciptakan dari diri sendiri, kita bahagia orang lain pun ikut merasakan bahagia. Jika ada seseorang yang kita kenal mengalami depresi, frustasi, kita rangkul untuk ikut memberikan kebahagian sama orang tersebut,” pungkasnya.

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments