JURNALPOSMEDIA.COM – Revisi Undang-Undang (RUU) Polisi Republik Indonesia (Polri) dinilai sebagai sinyal kembalinya orde baru. Hal ini karena RUU Polri dianggap memuat sejumlah pasal bermasalah dengan perluasan kewenangan secara ugal-ugalan.
Hal ini berpotensi menjadikan Kepolisian Indonesia sebagai institusi yang tidak dapat dijangkau oleh pengawasan rakyat atau disebut sebagai institusi “superbody”.
Revisi Pasal-Pasal yang Dinilai Akan Mengancam Kebebasan Berpendapat
Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dari RUU Polri memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Hal ini dapat mengancam kebebasan berpendapat khususnya dalam ruang media sosial karena konten yang membahas tentang politik bisa saja dihapus atau bahkan diblokir dengan alasan mengganggu keamanan bernegara.
Hal ini tentunya dapat mengancam kebebasan demokrasi. Masyarakat yang kritis terhadap isu politik bisa saja ditindak secara hukum tanpa alasan yang konkrit.
Selain itu, menurut Pasal 14 Ayat 1 (g) RUU Polri, polisi memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Pada tahap perekrutan, kepolisian memiliki wewenang untuk memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lain. Hal ini memungkinkan seseorang memegang jabatan yang tidak ia pahami pasti, selain itu seseorang yang memegang jabatan tersebut berpotensi tidak independen dalam menjalankan tugasnya dan kecil kemungkinan orang “biasa” akan bisa mendapatkan jabatan.
Dengan disahkannya RUU Polri, polisi juga memiliki wewenang memimpin komando Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa.
Hal ini harus ditinjau kembali, berkaca pada tahun 1998 kebijakan ini justru memunculkan potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pelanggaran keamanan bisnis.
Catatan Hitam Kepolisian Dikhawatirkan Kembali Terjadi Bahkan Semakin Parah
Menurut catatan masyarakat sipil dan sejumlah lembaga negara telah mencatat institusi Porli sebagai pelanggar kekerasan pada masyarakat sipil, pelanggaran HAM, pelanggaran etika dalam hal administrasi (maladministrasi), penyalahgunaan kewenangan, dan praktik korupsi.
Pelanggaran praktik kekerasan yang melibatkan kepolisian berupa penembakan, penganiayaan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa, penculikan, penembakan gas air mata, intimidasi, kejahatan seksual, hingga pembunuhan tanpa dasar hukum. Dalam rentang 2020 – 2024 KontraS telah mencatat praktik-praktik kekerasan yang melibatkan kepolisian di Indonesia.
Sepanjang Juli 2020 – Juni 2021 setidaknya terdapat 651 kasus. Juli 2021 – Juni 2022 mengalami peningkatan hingga 677 kasus. Juli 2022 – Juni 2023 mencapai 622 kasus. Sedangkan sepanjang Januari – April 2024, berdasarkan pemantauan KontraS, telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian.
Dilansir dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), sepanjang 2019 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat 67 orang meninggal yang diduga kuat sebagai korban pembunuhan di luar proses hukum di tangan anggota polisi. Sedangkan, selama kurun Juli 2022 – 2023, YLBHI mencatat setidaknya terdapat 130 kasus yang melibatkan kepolisian.
Catatan hitam di atas tentunya menjadi sinyal bagi masyarakat sipil untuk segera mencegah disahkannya RUU Polri yang akan sangat membatasi kebebasan bersuara. Semakin luas kewenangan yang dimiliki institusi kepolisian, maka semakin banyak orang yang akan terdampak dari kebijakan yang dinilai tak adil ini. Maka ketika kebebasan demokrasi terancam, hanya satu yang bisa dilakukan, lawan.