Mon, 31 March 2025

Mahasiswa Berani Angkat Bicara: Ungkap 18 Poin Kontroversial di Masa Kepemimpinan Jokowi

Reporter: Anggia Ananda | Redaktur: Zahra Dwi Aqilah | Dibaca 1049 kali

Fri, 25 October 2024
(Sumber: Pinterest.com)

JURNALPOSMEDIA.COMMahasiswa angkat bicara terkait isu 18 poin kontroversial mantan Presiden Indonesia, Joko Widodo selama 10 tahun masa kepemimpinannya. Poin tersebut diajukan untuk berbagai sektor di Indonesia.

Kritik yang dikeluarkan mengenai kebijakan dinasti politik, masuknya TNI ke ranah sipil, hingga konflik Papua yang belum terselesaikan. Dalam wawancara dengan dua mahasiswa, Khoirunnisa Febriani Sofwan dan Dwita Samsiyah Siti Aulia, mereka menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi demokrasi dan hak-hak sipil di Indonesia.

Khoirunnisa mengkritik tajam fenomena dinasti politik yang melibatkan Jokowi dan keluarganya.  

“Yang pastinya diuntungkan mereka yang terlibat dalam dinasti politik itu sendiri, yakni Presiden Jokowi beserta anak-anaknya dan keluarganya,” ujar Khoirunnisa, Senin (21/10/2024).

Ia juga menyebutkan bahwa demokrasi di Indonesia saat ini berada di ujung tanduk akibat adanya tindakan represif terhadap masyarakat yang menyuarakan keadilan.  

“Banyaknya masyarakat yang dibungkam setelah mereka menyuarakan keadilan, itu menunjukkan demokrasi sudah terancam,” ucapnya ketika diwawancarai Jurnalposmedia.

Khoirunnisa juga mengkritik masuknya TNI ke ranah sipil, mengaitkannya dengan potensi otoriterisme, merujuk pada sejarah kepemimpinan Soeharto dan berpotensi melemahkan demokrasi.

Meski negara berjalan dengan baik, ia menilai bahwa kepemimpinan militer sering kali mengabaikan aspirasi masyarakat, seperti yang terjadi pada era Orde Baru.

Dalam hal pendidikan, Khoirunnisa menyoroti dampak negatif dari pandemi COVID-19 dan sistem pendidikan yang tidak siap menghadapi perubahan.  

“Dengan dilaksanakannya pendidikan secara daring, dampaknya nggak maksimal, banyak siswa yang pelajarannya malah dikerjakan oleh orang tua mereka,” katanya.  

Kebebasan sipil yang kian menyempit di Indonesia juga menjadi sorotan penting dalam wawancara ini. Khoirunnisa menyerukan agar masyarakat tidak berhenti bersuara demi menjaga demokrasi.  

“Kita harus saling mengingatkan satu sama lain, kalau pemerintah lupa, mungkin kita bisa berdemo di jalan agar suara kita didengar,” pungkasnya.

Sementara itu, Dwita Samsiyah sependapat dengan pandangan Khoirunnisa mengenai isu-isu yang diangkat. Dwita menegaskan bahwa sistem oligarki politik telah menguntungkan segelintir kaum elit saja.  

“Menurut saya, pihak yang paling diuntungkan yaitu pemerintah itu sendiri karena mereka termasuk golongan elit,” tuturnya.

Dwita menambahkan bahwa dampak oligarki sangat buruk bagi demokrasi, yaitu korupsi akan semakin parah terjadi di tanah air tercinta.  

“Menurutku dampak dari pada oligarki itu berdampak buruk sekali karena bakal timbul dari pada krisis demokrasi dan juga tingkat korupsi semakin membarak dan mungkin susah akan diatasi,” cakapnya.

Dwita juga menambahkan bahwa kehadiran TNI di ranah sipil bisa mengurangi profesionalisme militer.

“Masuknya TNI ke ranah sipil bakalan tidak seimbang, profesionalitas TNI-nya bakalan berkurang,” sebutnya.

Dwita mengidentifikasi masalah komunikasi antara pemerintah dan masyarakat Papua sebagai hambatan utama dalam penyelesaian konflik.  

“Letak kesulitan utama dalam menyelesaikan konflik Papua itu mungkin dalam segi komunikasinya, harus segera diperbaiki,” jelasnya.

Terakhir, Dwita menekankan pentingnya sosialisasi dan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan.  

“Langkah pentingnya itu harus ada reboisasi besar-besaran… dan sosialisasi ke masyarakat betapa pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan,” tukasnya.

Melalui kritik-kritik tajam tersebut, para mahasiswa ini berharap pemerintah segera mengambil langkah nyata untuk memperbaiki berbagai masalah yang dihadapi negara, mulai dari politik hingga lingkungan dan pendidikan.

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments