JURNALPOSMEDIA.COM— Seruan #BubarkanDPR yang bergema di media sosial bukan sekadar tagar viral, tetapi puncak kekecewaan publik yang mendalam. Ketika sentimen ini meluas menjadi rencana aksi unjuk rasa di depan Gedung Parlemen, pertanyaan krusial muncul, mengapa lembaga perwakilan rakyat justru menjadi sasaran utama kemarahan? Wacana pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebuah gejala krisis kepercayaan yang serius.
Kepercayaan publik yang terkikis bukanlah peristiwa tunggal, melainkan akumulasi dari berbagai persoalan fundamental yang dirasakan masyarakat. Publik menyoroti kinerja DPR yang dinilai jauh dari harapan.
Dikutip dari openparliament.id, tingkat kehadiran anggota dalam rapat-rapat penting yang hanya berkisar 65% dipersepsikan sebagai kurangnya komitmen. Ironisnya, menurut Kompas.com DPR periode 2019-2024 justru mencatatkan rekor pengesahan 225 Undang-Undang (UU), terbanyak dalam 15 tahun terakhir. Hal ini menimbulkan dugaan proses legislasi lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas.
Citra DPR sebagai lembaga yang rentan korupsi sulit dilepaskan. Persepsi ini terus diperkuat oleh kasus-kasus aktual, seperti penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang menyeret seorang anggota DPR berinisial MS karena diduga menerima titipan mobil mewah dari tersangka. Kasus semacam ini secara efektif mengonfirmasi kecurigaan publik bahwa jabatan legislatif rawan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Beberapa undang-undang yang disahkan DPR menjadi pemicu utama kemarahan karena dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat, di antaranya:
- UU Cipta Kerja: Dianggap merugikan hak-hak buruh.
- Revisi UU KPK: Dinilai melemahkan lembaga pemberantasan korupsi.
- UU Mineral dan Batubara (Minerba): Dikritik karena memberi kemudahan berlebihan bagi korporasi tambang.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru): Sejumlah pasalnya dianggap mengancam kebebasan sipil dan kritik terhadap pemerintah.
Kesenjangan antara gaya hidup legislator dan kondisi masyarakat menjadi faktor pemicu yang signifikan. Isu seperti tunjangan perumahan anggota dewan yang mencapai Rp 50 juta per bulan menciptakan persepsi adanya ketidakpekaan.
Puncaknya adalah pernyataan kontroversial dari Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, yang merespons seruan pembubaran dengan menyebut pelontarnya sebagai “orang tolol se-dunia”. Pernyataan ini dianggap sebagai bukti arogansi dan semakin memperlebar jarak emosional antara wakil dan yang diwakili.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pada Pasal 7C, dengan tegas menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”. Aturan ini adalah pilar sistem presidensial yang menempatkan DPR sejajar dengan Presiden, sehingga satu pihak tidak bisa menjatuhkan yang lain. Upaya pembubaran oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 2001 pun gagal dan justru berujung pada pemakzulan dirinya.
Dikutip dari liputan6.com, Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, “memiliki DPR yang buruk masih jauh lebih baik daripada tidak memiliki DPR sama sekali”. Seruan pembubaran lebih tepat dimaknai sebagai sinyal darurat, bukan proposal kebijakan yang realistis.
Partisipasi publik harus menjadi inti dari proses legislasi, bukan sekadar formalitas. Hak publik untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapatkan penjelasan atas setiap masukan harus dijamin sepenuhnya oleh DPR.
Tantangan sesungguhnya adalah memaksa DPR untuk berubah secara fundamental melalui reformasi yang komprehensif. Perbaikan harus menyentuh internal lembaga, sistem perekrutan politik, dan mekanisme partisipasi publik. Membangun kembali jembatan kepercayaan yang telah runtuh adalah tugas berat, namun menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dan memperkuat demokrasi Indonesia.
















