Arini mengumpulkan serpihan kaca di tangannya. Ngeri. Itu yang ia pikirkan. Sudah 4 tahun lamanya, tapi ia masih belum bisa menerima kenyataan. Bagaimanapun juga, ia ingin semua kembali seperti dulu. Dengan air mata berderai, Arini tetap bertahan pada posisinya, tangannya masih bergerak mengumpulkan sisa-sisa kaca. Ini harus segara berakhir.
“Arin!” Seru Ibu dari dalam kamar. Dengan segera, Arini menyeka air matanya dan menyimpan serpihan kaca di meja. Ia berjalan menuju pintu kamar utama dengan was-was. Jantungnya berdegup kencang seiring lagkahnya yang semakin lambat. Sesampainya di depan pintu, Arini teridam. Diambilnya napas panjang untuk menenangkan jantungnya. Dirasa sudah aman, ia membuka pintu dengan perlahan. “Kenapa Bu?” Ucapnya lembut.
“Ayah sudah pergi?” Suara Ibu masih menyisakan getar isak tangis. Arini hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Kepala Arini tertunduk, ia tak kuasa menatap wajah sedih Ibunya. Ibu hanya terdiam melihat Arini. Tak ada senyuman hangat disana. Ia bukan lagi Arini yang riang. Tak lagi memiliki semangat untuk memulai harinya. Semuanya hilang seiring berjalannya waktu. Ini salahku. Batin Ibu. Tak ada lagi yang bisa ia perbuat. Semuanya telah terjadi. Tinggal bagaimana kita menjalani.
“Arin hari ini tidak bermain keluar rumah?” Suara Ibu membuat Arini menengadahkan kepalanya. Arini menggeleng. “Tidak Bu. Arin di rumah saja.” tukasnya. Ibu hanya mengangguk kemudian berdiri dan mengambil tasnya. “Ibu pergi dulu ya. Kamu jaga rumah baik-baik. Ibu pulang besok pagi.” Arini hanya mengangguk sebagai jawabannya. Sementara Ibu sudah berjalan keluar kamar terlebih dahulu.
Suara pintu yang tertutup membuat Arini terdiam. Perlahan, tubuh Arini luruh. Terjatuh di atas lantai yang dingin. Isak tangis perlahan terdengar memecah kesunyian malam. Tangan Arini bertaut di dadanya. Seakan hanya itu cara yang bisa ia lakukan untuk menahan sakit. Tidak! Ia tidak bisa seperti ini! Batinnya bergejolak. Siapapun itu, tolong!
Pagi itu Arini terbangun. Ia mengedarkan pandangannya. Masih di tempat kemarin. Tertidur lagi disini? Batinnya. Lagi, sudah menjadi rutinitas Arini tertidur dalam tangis. Entah sudah berapa lama sampai ia mulai terbiasa akan hal itu. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamarnya. Bersiap untuk pergi sekolah.
“Selamat pagi Arini!” Sapa teman sebangkunya, Saras. Sembari menyimpan tas ranselnya, Arini menampilkan senyum terbaiknya. “Pagi Saras!” Senyum indah Arini membuat senyum di wajah Saras semakin merekah. Yang Saras tau, Arini adalah sosok gadis ceria dan penuh semangat. Ia tak pernah tau apa yang tersimpan dibalik semua itu.
Ditengah berlangsungnya pelajaran, seorang guru piket masuk dan memanggil Arini. Lantas semua orang menatap Arini dengan heran. Arini hanya bisa terdiam. “Ikut Ibu dan bawa semua barang-barangmu!” perintahnya. Dengan segera Arini menuruti perintah guru piket itu. Perlahan, ia berjalan menuju pintu diiringi tatap setiap orang di kelasnya. Sudah kedua kalinya ia dipanggil dalam bulan ini. Dan ia yakin permasalahannya masih sama.
“Ayahmu menelepon tadi. Kamu harus segera pulang.” ucap Bu Nada, memecah keheningan di koridor. Arini mengangguk. Hanya bisa terdiam dengan jantung yang terus berdegup kencang. Bu Nada menghentikan langkahnya di depan ruang BK, membuyarkan lamunan Arini. “Kamu pulang diantar Pak Tono ya.” lagi-lagi Arini hanya bisa mengangguk kaku.
Sesampainya di depan rumah, Arini segera berlari masuk. Mencari keberadaan Ibunya. Pandangannya beredar. Ia segera melepas ranselnya dan berjalan perlahan menuju dapur. Ruangan itu sudah tak berupa, dengan vas bunga dan gelas pecah di sekitar meja makan. Seseorang terbaring lemah di samping kursi yang terjatuh membuat Arini termenung. Air matanya lolos. Ia sudah menduga kejadian ini akan terulang.
Isak tangisnya memecah keheningan. Membuat mata Ibu perlahan membuka. Dilihat anak semata wayangnya berderai air mata, membuat hatinya sakit. “Arini,” gumamnya lemah. Dan itu membuat Arini berlari, merengkuh tubuh lemah Ibunya. Tangis Arini pecah dalam dekapan Ibunya. “Bu, ayo kita pergi! Ceraikan Ayah! Kita pergi dari sini!” seru Arini di sela tangisnya. Ibu hanya terdiam. Pelukannya semakin erat. Mereka terdiam. Hanya ada tangis keduanya. Yang lebih bermakna ketimbang kata.
Malam-malam selanjutnya, rumah menjadi ramai. Bukan. Bukan derai tawa hangat yang disuguhkan keluarga ini. Tapi perdebatan Ibu dan Ayah yang tak bisa diakhiri. Arini senang Ibu dan Ayah ada di rumah. Tapi bukan ini yang ia harapkan. Terdengar isak tangis Ibu yang menyayat hati. Membuat tangis Arini semakin menjadi di balik pintu kamarnya. “Aku mau kita cerai mas!” teriak Ibu. Plak! Satu tamparan lolos. Tangis Ibupun semakin menjadi. “Oh sudah mulai berani kamu!” teriakan Ayah menggema. Setelah itu, perdebatan semakin hebat. Dan Arini hanya bisa terduduk menutup telinganya rapat-rapat. Membiarkan isakannya menemani kesendiriannya.
Pagi ini ada yang berbeda. Arini telah siap dengan gaun putih selututnya. Ia berdiri menghadap cermin. Wajahnya mengulaskan senyuman indah. Ditariknya napas panjang. Dirasa sudah siap, ia berjalan menuju kamar utama. Dibukanya pintu secara perlahan. Terlihat Ibu duduk di tepi ranjang. Cantik. Dengan balutan gaun hitam menutupi tubuhnya. Arini tersenyum. “Ayo berangkat Bu! Sidang dimulai 30 menit lagi.” Ibu menatap Arini. Tersenyum, kemudian berjalan menuju Arini. Ia memeluk anaknya perlahan. Keduanya saling mendekap hangat. Dengan senyum di wajah mereka. Hari ini adalah penentuan kehidupan selanjutnya. Semua akan berakhir. Tidak akan ada lagi tangis Ibu yang bederai. Tidak akan ada lagi gelas yang pecah. Semua selesai. Dan Arini berharap, semua akan menjadi lebih baik. Walau tanpa keluarga yang utuh.