
JURNALPOSMEDIA.COM– Dirasa atau tidak, internet sudah banyak ikut campur dalam beragam urusan. Ia bukan yang asing lagi setelah berakhir abad ke-20, sehingga setengah lebih dari total penduduk Indonesia aktif berselancar di intenet. Mengetahui status tetangga lewat intertet, belajar memasak via internet, mengakses tips menulis lewat internet, sampai urusan seperti doa pun disampaikan dengannya.
Internet berawal dari kebutuhan angkatan pertahanan Amerika Serikat untuk saling terhubung. Lalu berkembang website, dan media sosial setelahnya pun mulai bermunculan. Mungkin kalau nenek moyang kita menyaksikan anak cucunya yang hari ini, ia akan tercengang. Di mana kita tak perlu lagi menunggu lama balasan surat dalam komunikasi jarak jauh, tinggal menunggu beberapa detik untuk mendapatkan respon.
Seorang pria seperti Sukab dalam cerita ‘Sepotong Senja untuk Pacarku’ itu, mungkin kali ini ia tak perlu menitipkan sisipan senjanya pada tukang pos, dengan jaminan tak cepat terkirim. Hanya perlu sinyal kuat dan beberapa kuota saja, senja itu akan sampai cepat pada pacarnya. Apabila keadaan sudah semudah ini, lantas bahasan apa yang hendak kita bahas lagi?
Yakni kekuatiran perubahan tingkah kita, atau sebagian dari kita saja yang mulai merasa tidak perlu membaca koran, buku, dan lebih memilih bacaan dalam layar. Selain itu, beberapa dari kita harus bisa menjawab, kenapa gelisah kalau ponsel sepi notif? Mungkinkah karena lebih senang terhubung daripada tak terhubung? Dan hal lain yang berkaitan dengan cara bertingkah kita.
Kekuatiran ini dibukukan oleh Nicholas Carr, dalam buku berjudul The Shallows. Di dalamnya ketika kita menyalakan gawai, kita telah tercebur ke dalam ‘ekosistem teknologi interupsi’. Istilah itu keluar dari mulut Cory Doctorow, seorang blogger. Umpamanya, saat membuka buku elektronik di ponsel pintar, tiba-tiba ada pemberitahuan dari Line, beberapa detik kemudian Facebook berdering, lalu Instagram melakukan pemberitahuan.
Pemberitahuan itu seakan saling menarik untuk mendapat perhatian, padahal pikiran sedang menitik pada bacaan elektronik itu. Kalau tak tahan iman mungkin sebgaian orang akan melakukan interupsi, menutup sebentar e–book itu untuk membuka ketiga notif tadi. Dampaknya, memudar dari ingatan karena otak yang linear diperintah untuk multitasking.
Kemudian lucunya dari gawai seperti ponsel pintar, yang jauh jadi dekat, yang dekat seakan jauh. Sehingga saya mengambil istilah “Jauh Dimata Dekat Dimaya” yaitu saat duduk bersama dalam satu ruangan, tapi komunikasi dilakukan di jejaring internet. Kita mungkin semakin tidak mengenal orang dalam dunia nyata. Lebih tahu hal dalam maya, satu bayang-bayang yang kadang tak sesuai kenyataan. Berapa banyak orang yang kecewa dengan barang yang dibelinya di internet, atau pria yang terkaget-kaget pada wanita dengan wujud aslinya.
Hal di atas adalah contoh paradoks dalam internet, semetara yang lainnya adalah soal privasi. Orang seakan tanpa privasi dalam internet kecuali kata sandi akunnya. Tapi aktivitasnya tak menandakan tak berprivasi. Semua yang ia lakukan diunggah, sehingga terlihat oleh publik. Celakanya hal bermuatan negatif pun lolos dari saringan kita sendiri. Seakan tak sadar kalau unggahan itu telah menelanjangi privasi. Hal inilah kemudian menjadi sebab dari deretan kasus penculikan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan lewat media sosial.
Hal lain yang tak kalah penting, barang yang tak asing lagi ini seakan sudah merenggut waktu. Mungkin kerap merasa diri paling ceroboh sedunia, ketika posel pintar ketinggalan dari genggaman. Apa hanya satu dari sekian juta saja yang tak mau tinggal dari gawai, atau gawainya yang mau ditinggal, itu persoalan yang perlu kompromi lagi. Tetapi pada intinya, diri jadi tak gelisah kalau gawai dalam genggaman, apalagi kalau ditambah dengan sambungan hotspot gratis.
Terlepas dari itu semua, yang terpenting adalah ada waspada diri terhadap media baru tersebut. Sebagaimana kewaspadaan dari Marshall McLuhan, yang mewanti-wanti pada perubahan laku kita karena pengaruh media yang digunakan.
Ia meramalkan, manusia akan berperilaku seperti ponsel pintar yang mampu multikerja, sehingga cara berpikir linear khas manusia yang ‘lama’ akan hilang. Namun di tengah kekuatiran itu, ada kemungkinan media baru ini belum menempatkan posisinya yang paling pas di sisi kita. Karena seiring waktu, media baru akan terus menawarkan kesesuaian.
*Penulis merupakan mahasiswa Jurnalistik semester VI dan Pemimpin Umum Jurnalpos Media