Tue, 30 September 2025

Kebakaran Sukahaji, Begini Pengakuan dari Warga

Reporter: TSANIYA ZAHIRAH SHAFA | Redaktur: SILMY KAFFAH MARDHOTILLAH | Dibaca 899 kali

Fri, 11 April 2025
(Sumber foto Muhammad Rafi Ikhwanudin/Jurnalposmedia)

JURNALPOSMEDIA.COM — Kebakaran yang terjadi di kawasan Sukahaji, Babakan Ciparay, Kota Bandung pada Rabu malam, (9/4/2025), menurut keterangan warga sekitar, bukan sekadar musibah.

Api yang membakar permukiman warga sekitar pukul 21.30 WIB menyisakan luka sosial dan membuka tabir panjang konflik agraria yang telah berlangsung sejak tahun 2009.

Warga menilai kebakaran ini bukan murni kecelakaan, melainkan bagian dari rangkaian intimidasi terkait sengketa lahan antara masyarakat dan dua pihak yang mengklaim kepemilikan tanah secara sepihak.

Sejak tahun 2009, warga dikejutkan oleh klaim sepihak dari dua orang bernama Junus Jen Suherman dan Juliana Iskandar yang mengaku memiliki sertifikat tanah seluas 7,5 hektar, mencakup RW 01 hingga RW 04 Sukahaji. Padahal, kawasan tersebut telah dihuni secara turun-temurun oleh ratusan keluarga sejak tahun 1985. Klaim ini semakin menguat saat keduanya datang membawa dokumen dan memaksa pengosongan lahan sejak 2010. Bahkan pada tahun 2013, sempat dilakukan tawaran kompensasi kepada warga sebesar Rp750.000 ribu per kepala keluarga yang kemudian ditolak mentah-mentah.

Penolakan warga Sukahaji terhadap kompensasi dan klaim kepemilikan tanah itulah yang memicu rentetan tekanan dan intimidasi. “Mereka lakukan intimidasi hingga jam 3 malam didatangi oleh beberapa orang dan kelompok dengan menyebutkan suruhan dari Jun Suherman,” ujar warga Sukahaji, Ronal pada Rabu (9/4/2025).

Dalam situasi tersebut, kekuatan massa menjadi satu-satunya pelindung warga. Sejak itu pula, situasi terus memanas dengan hadirnya alat berat, seperti buldoser, dan munculnya surat ancaman secara terang-terangan. Kekhawatiran warga semakin tinggi karena mereka merasa sertifikat tanah yang diklaim justru berubah-ubah dari sisi luas, namun tetap menggunakan dokumen yang sama.

Warga mencatat bahwa intimidasi yang mereka alami bukan kali pertama. Peristiwa serupa terjadi pada tahun 2018, saat kebakaran juga muncul saat musim mudik, seperti halnya kebakaran yang terjadi baru-baru ini. Ronal menyebut telah terjadi sabotase kepada warga Sukahaji dengan membakar jongko yang ada di sana.

Yang menyakitkan bagi warga adalah peran aparat yang dinilai justru membiarkan atau bahkan mendampingi intimidasi tersebut yang justru hingga mengancam nyawa warga setempat. Laporan-laporan warga sering kali dianggap remeh oleh pihak kepolisian. Bahkan, ia menyebut adanya keterlibatan intel polisi dalam mendampingi upaya tekanan terhadap warga.

“Intimidasi lainnya juga dilakukan dengan adanya ancaman pembunuhan terbukti dari foto, nama dan nomor telepon yang menjadi suatu ancaman, kemudian ancaman pembakaran sehingga secara tidak langsung ada ancaman penjara kepada warga. Bahkan hal ini didampingi oleh intel polisi,” ujar Ronal lebih lanjut.

Sampai hari ini, status hukum tanah di Sukahaji masih kabur. Warga tidak memiliki sertifikat resmi, namun mereka memiliki bukti domisili dan penguasaan fisik selama puluhan tahun. Menurut Ronal, apabila nantinya masyarakat memenangkan proses hukum, maka langkah selanjutnya adalah mendaftarkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas nama masing-masing kepala keluarga dan mengupayakan sertifikasi berdasarkan rekomendasi dari pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa warga sebenarnya membuka ruang penyelesaian damai melalui jalur hukum.

Namun di sisi lain, administrasi perpajakan pun bermasalah. masih ada tunggakan pajak namun dari yang terlihat, tunggakan tersebut diarahkan kepada wilayah Sukahaji namun tidak jelas nomor NPWP-nya. Ketidaktertiban data inilah yang menjadi alasan warga melaporkan kejanggalan tersebut. Mereka menuntut adanya transparansi dan validasi dari pihak terkait, termasuk dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pengadilan negeri, untuk memastikan keabsahan klaim kepemilikan. Warga menilai bahwa selama status hukum belum tuntas, tidak seharusnya ada upaya pemaksaan pengosongan maupun penggusuran.

Tanggal 7 April 2025, dua hari sebelum kebakaran, warga diminta untuk segera mengosongkan wilayah Sukahaji. Namun karena belum ada keputusan hukum tetap, warga memilih bertahan.

Ronal mengatakan, “Ketika dilihat tidak patuh maka ada strategi baru agar penggugat tidak hadir di pengadilan sehingga pihak tergugat bisa melangkah,” ucapnya. Meski begitu, warga tetap menaruh harapan pada pengadilan untuk memberikan keadilan berdasarkan fakta.

Apabila proses hukum akhirnya memihak warga, Ronal memastikan bahwa hal tersebut akan menjadi kekuatan legal standing untuk menuntut kejelasan kepemilikan. Namun jika sebaliknya, warga menyatakan akan tetap bertahan.

“Kami akan tetap melawan dengan membawa massa untuk menentukan,” kata Ronal.

Perjuangan ini bukan sekadar mempertahankan rumah, tetapi juga mempertahankan martabat dan hak hidup. “Kalau ada korban jiwa, itu sudah menjadi risiko perjuangan karena dari tahun 2018 sudah dibiarkan begitu saja dengan pemerintah daerah,” lanjut Ronal dengan tegas.

 

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments