JURNALPOSMEDIA.COM – Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) gelar diskusi advokasi dengan tema “Payung Hukum dan Hak-Hak Pers Mahasiswa” via Zoom Meeting dan disiarkan secara langsung di kanal Youtube PPMI, Rabu (28/4/2021).
Diskusi tersebut dihadiri beberapa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di seluruh Indonesia. Adapun pembicara yang mengisi diskusi yakni Abdul Manan (Majelis Etik Nasional AJI Indonesia 2021-2024) dan Ika Ningtyas (Sekjen AJI Indonesia 2021-2024).
Abdul Manan sebagai pemateri pertama membahas “Payung Hukum dan Hak Pers Mahasiswa”. Menurutnya, untuk melihat kompatibilitas (keadaan) pers mahasiswa bisa mengacu pada Pasal 4 (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjadi payung hukum pers umum.
“Seharusnya itu (UU Pers) dapat menjadi payung bagi pers mahasiswa, karena sama-sama memiliki hak untuk menyampaikan informasi,” jelasnya.
Dalam hal ini, setiap orang diberi hak untuk menyampaikan informasi tanpa adanya penyensoran, pemberedelan, dan pelarangan penyiaran. Hak tersebut berhak dijamin oleh negara sebagai bentuk kebebasan berekspresi.
Lebih lanjut, Abdul Manan mempertanyakan apakah UU Pers tersebut diterapkan pada pers mahasiswa atau tidak. “Memang undang-undang ini untuk media mainstream dan tidak menjelaskan definisi pers secara spesifik,” tambahnya.
Ia melanjutkan, pers mahasiswa dalam menjalankan tugasnya dapat mengalami kekerasan yang sama dengan wartawan. Seperti kekerasan fisik, kekerasan nonfisik, serangan digital, dan gugatan hukum.
“Pengakuan yang minim dari masyarakat, apalagi jika kartu identitasnya tidak jelas. Potensi kekerasan fisiknya sangat besar,” tuturnya.
Selanjutnya, materi kedua disampaikan Ika Ningtyas yang membahas tentang “Advokasi Pers Mahasiswa”. Pers mahasiswa, kata dia, berhak mendapatkan perlindungan berekspresi yang dijamin oleh negara.
Namun saat ini ada penyempitan ruang sipil yang menyebabkan kekerasan fisik, serangan digital, dan Undang-Undang ITE semakin meningkat.
“Situasi yang dihadapi sekarang (AJI dan Persma), apakah kita akan berdiam diri? Ini kesempatan untuk konsolidasi tentang isu demokrasi,” tambahnya.
Ia menjelaskan advokasi tidak hanya melakukan aksi jalanan, tapi lebih strategis dengan mengadvokasi kebijakan publik pada kasus yang terjadi. Peningkatan kapasitas tentang advokasi harus dipersiapkan jurnalis mahasiswa ketika menghadapi tekanan dari berbagai pihak.
“Kita harus belajar advokasi, belajar menulis, dan juga kode etik. Ketika mengalami tekanan dari kampus, AJI harus mampu mengadvokasi,’’ katanya.
Selain itu juga, pentingnya pengetahuan hukum dan paralegal (pendamping hukum) untuk mendampingi korban di peradilan.
Saat ada gugutan, kata Manan sengketa jurnalistik bisa dipidana ketika berita yang dikategorikan bukan karya jurnalistik. “Jika Dewan Pers mengatakan ini karya jurnalistik, jurnalis tidak akan dipidana karena itu kewenangan Dewan Pers,” tegasnya.
Mengingat ketidakjelasan badan hukum, pers mahasiswa harus berhati-hati dalam menyampaikan informasi. Maka yang menjadi pertahanan terbaik pers mahasiswa yakni kebenaran yang ditulis.
Sebagai payung hukumnya, Persma harus memiliki jejaring yang luas untuk saling menguatkan ketika menghadapi masalah. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperkuat jaringan Persma untuk menunjukkan bahwa Persma tidak sendirian.
“Pers mahasiswa itu layaknya wartawan, banyak yang tidak senang dengan karya kita. Jangan patah semangat, memilih menjadi pers mahasiswa itu jalan pedang dan pasti berisiko. Tetapi pers mahasiswa harus tetap istikamah ketika sedang bertugas,” pungkas Manan dalam diskusinya.