JURNALPOSMEDIA.COM — FOMO atau Fear of Missing Out telah menjadi istilah yang sangat familiar di era digital ini. Dengan kemajuan media sosial yang terus terhubung selama 24/7, kita sering kali merasa tertinggal jika tidak mengikuti tren, acara, atau kehidupan orang lain yang tampak lebih “seru” dari yang kita miliki. Namun, apakah FOMO benar-benar membuat kita kehilangan sesuatu yang penting, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh ekspektasi sosial?
FOMO, yang sebenarnya merujuk pada rasa takut ketinggalan sesuatu yang penting atau menyenangkan, semakin dipicu oleh media sosial seperti Instagram, Facebook, dan TikTok. Setiap kali kita membuka aplikasi ini, kita disuguhi dengan kehidupan orang lain yang tampak sempurna: liburan eksotis, pesta mewah, pencapaian karier, hingga kebersamaan dengan teman-teman. Semua ini dipresentasikan dalam potongan gambar dan video yang indah, mengilusi kita untuk percaya bahwa kita ketinggalan sesuatu yang penting jika tidak ikut ambil bagian. Tapi, apakah realitasnya sesederhana itu?
Terdapat paradoks besar dalam fenomena FOMO. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan atau kebahagiaan, FOMO justru sering kali menciptakan perasaan gelisah dan tidak puas. Psikolog menyebutkan bahwa FOMO dapat merusak kesehatan mental, meningkatkan stres, dan menyebabkan kecemasan yang berkelanjutan. Ketika kita terlalu fokus pada apa yang orang lain lakukan, kita kehilangan kesempatan untuk menghargai apa yang sebenarnya kita miliki dan alami. Kehidupan kita sendiri, yang mungkin penuh dengan hal-hal baik, sering kali terabaikan hanya karena kita terlalu sibuk membandingkannya dengan standar yang tidak realistis dari kehidupan orang lain.
Salah satu penyebab utama FOMO adalah perbandingan sosial. Melalui media sosial, kita membandingkan diri kita dengan versi kurasi dari kehidupan orang lain—versi yang hanya menampilkan momen-momen terbaik mereka. Kita tidak melihat kegagalan, kebosanan, atau tantangan yang mereka alami. Yang kita lihat hanyalah kebahagiaan yang seolah tanpa cela. Ini membuat kita bertanya-tanya pada diri sendiri: “Apakah aku sudah cukup sukses? Mengapa hidupku tidak semenarik hidup mereka? Mengapa aku tidak seproduktif atau sesenang mereka?”
Kondisi ini, jika dibiarkan, dapat berdampak buruk pada kesehatan mental. Sebuah studi yang dilakukan oleh University of Essex menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan berkorelasi dengan meningkatnya perasaan rendah diri, kecemasan, bahkan depresi. FOMO membuat kita terjebak dalam lingkaran setan perasaan tidak puas. Semakin kita merasa tertinggal, semakin sering kita memeriksa media sosial, dan semakin besar pula rasa kehilangan yang kita rasakan. Akibatnya, kita kehilangan fokus pada diri sendiri dan hidup dalam bayang-bayang kehidupan orang lain.
Namun, ada cara untuk mengatasi FOMO dengan lebih sehat, dan itu dimulai dengan perubahan perspektif. Pertama, penting untuk menyadari bahwa media sosial hanyalah sorotan singkat dari kehidupan seseorang, bukan gambaran lengkapnya. Tidak ada yang sempurna, dan apa yang kita lihat di layar hanyalah hasil kurasi yang dipilih dengan hati-hati untuk menciptakan citra tertentu. Memahami hal ini dapat membantu kita mengurangi tekanan untuk selalu membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Selain itu, mengambil waktu untuk detox digital atau membatasi konsumsi media sosial bisa menjadi langkah besar menuju kebebasan dari FOMO. Kita bisa mengatur batas waktu harian untuk penggunaan media sosial, atau bahkan meluangkan satu hari penuh tanpa melihat ponsel. Langkah-langkah kecil seperti ini dapat membantu kita keluar dari siklus perbandingan yang merugikan.
Lebih jauh lagi, alih-alih merasa tertinggal, kita dapat mencoba untuk lebih fokus pada apa yang kita nikmati dan hargai dalam hidup kita sendiri. Kehidupan bukanlah perlombaan atau kompetisi untuk selalu melakukan hal-hal “paling keren.” Justru, kebahagiaan sering kali ditemukan dalam momen-momen kecil yang penuh makna, yang mungkin tidak pernah diposting di media sosial. Momen seperti bercengkerama dengan keluarga, menikmati secangkir kopi di pagi hari, atau berjalan-jalan di taman bisa menjadi sumber kebahagiaan yang autentik, tanpa perlu validasi dari orang lain.
Selain itu, melatih rasa syukur juga bisa menjadi solusi efektif untuk melawan FOMO. Ketika kita fokus pada apa yang kita miliki, kita menjadi lebih sadar akan kekayaan yang ada dalam hidup kita, baik itu hubungan dengan orang-orang terdekat, pencapaian pribadi, atau bahkan hal-hal sederhana seperti kesehatan dan waktu luang. Rasa syukur membantu kita menghargai momen yang kita miliki, tanpa perlu merasa tertinggal oleh apa yang orang lain lakukan.
Dalam pandangan saya, FOMO bukanlah rasa takut kehilangan sesuatu yang nyata, melainkan ketakutan yang didorong oleh ekspektasi tidak realistis yang diciptakan oleh dunia maya. Dunia digital telah menciptakan ilusi bahwa kita harus selalu terlibat dalam segala sesuatu untuk merasa berharga. Padahal, nilai hidup kita tidak ditentukan oleh seberapa banyak hal “menarik” yang kita lakukan, melainkan oleh bagaimana kita menikmati dan menghargai setiap momen yang kita jalani.
Pada akhirnya, yang kita kejar bukanlah kehidupan orang lain, melainkan perasaan puas dengan diri sendiri. Saat kita mampu menikmati dan mensyukuri momen yang kita miliki—apa pun bentuknya—kita tidak akan lagi terjebak dalam ilusi FOMO. Sebaliknya, kita akan menyadari bahwa kita tidak pernah benar-benar kehilangan sesuatu yang penting. Kebahagiaan bukanlah tentang apa yang kita lihat di layar ponsel, melainkan tentang bagaimana kita hidup dengan autentik dan hadir sepenuhnya dalam momen yang nyata.