Sun, 24 November 2024

Diskusi Ambivalisme Sastra Populer Bersama Dian Nurrachman

Reporter: Abdul Latief/Kontributor | Redaktur: Lisna | Dibaca 276 kali

Tue, 8 May 2018
Selain Kritikus Sastra Dian Nurrachman, Berto Tukan (kanan) yang juga merupakan Penikmat Sastra menjadi pemateri pada diskusi bertajuk ‘Wajah Sastra: Menyingkap Ambivalensi Sastra Populer di Indonesia’ dalam rangka Milangkala Jaringan Anak Sastra (JAS) UIN Bandung, di Bawah Pohon Rindang (DPR), Senin (07/05/2018). (Dadan Ramdani/Jurnalposmedia)

JURNALPOSMEDIA.COM–“Sastra populer selalu berada di dua sisi, selain itu semua sastra sering disebut sebagian ambivalen. Sastra populer dapat dikatakan populer jika karya tersebut banyak diminati oleh masyarakat”.

Demikian yang disampaikan oleh Dian Nurrachman saat menjadi pemateri di diskusi bertajuk ‘Wajah Sastra’ dalam rangka Milangkala Jaringan Anak Sastra (JAS) UIN Bandung ke-3, dengan tema ‘Menyikapi Ambivalensi Sastra Populer di Indonesia’. Berlangsung di Bawah Pohon Rindang (DPR) UIN Bandung, Senin (07/05/2018).

Lebih lanjut, ia mengatakan sastra yang ada di Indonesia tidak memperhatikan bagus atau tidaknya tulisan. Melainkan, seberapa banyak masyarakat yang membaca karya tersebut, itu disebut sebagai sastra populer dan mendapat hikmah. Sastra populer maupun sastra tinggi, harus ada unsur autentik, dan kerumitannya agar sastra tersebut berkelas.

Sastra mana pun baik seni yang tinggi, ataupun sastra yang populer, semua bergantung pada penerbitan. Berbagi pengalaman, Dian Nurrachman pernah membuat lima karya sastra untuk diterbitkan di Pikiran Rakyat, namun semuanya ditolak. “Jika karyamu gagal diterbitkan, maka kamu harus menerbitkannya sendiri dan mau menerima resiko,” ungkap Dian yang juga merupakan Kritikus Sastra.

Untuk membuat sastra populer, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan agar sastra tersebut dikatakan populer. Pertama, sastra harus mengandung dampak, perlakuan ini lebih membahas tentang kondisi sosial dan psikologi masyarakat yang mempengaruhi nilai dari sastra tersebut. Kedua, sastra harus simbolik, yaitu terdapat representasi kelas dari masyarakat. Dan yang rerakhir, sastra harus reflektif, sepopuler atau semurah-murahnya sastra, harus ada gagasan yang didasari dengan norma.

Selain itu, Ketua Jaringan Anak Sastra Ryan Zulkarnain mengharapkan dengan diadakannya diskusi ini, mahasiswa dapat meningkatkan minat mereka dalam menulis sastra. “Saya harap dengan acara ini, semua mahasiswa dapat menulis sebuah sastra mereka sendiri.” tutupnya.

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments