Pada sebuah ceruk tak berongga, sebujur putih menggelebah
Merapal entah-berentah yang tiada kuasa menolong, terkokol ditatap sang hitam bernetra biru
Dikiranya cemeti dewa tengah berselaras mencipta gelumat pekak di tawang sana
Rupanya hanya sekawanan kunang-kunang berdian menggantikan gurat jingga yang telah melesap
Namun si kecil dan jagatnya itu teramat bisu, lengang
Tuan-tuan jangan beringas, apa sebab tak kusuguhi barang selinting kepala api jadi begini?
Damailah, nanti orang-orang dengar dan aku bera; aku ini seorang ningrat
Sakit… lecutan senawat Tuan melebamkan kesucianku, tapi persetan katamu
Lihat! Beraian tanah jadi luruh menimpaku, ia lancang menembus deretan pintuku tanpa ketuk
Hai kunang, kau tak dengar juga aku kesakitan?
Benar-benar alam paling nyenyat, padahal cuma sepetak
Gelegar suara dua utusan Tuhan ini terlampau menghunus indra runguku
Tapi hiruk di atas lubangku masa bodoh, sungguh masa bodoh
Lalu dibiarkannya aku terbaring seorang diri, bersedekap bersama senyap