JURNALPOSMEDIA.COM – Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang (UU) Nomor 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai langkah progresif dalam menangani kasus kekerasan seksual di Indonesia. Namun, tanpa adanya sosialisasi yang masif, tren ini akan terus meningkat karena tabunya wawasan masyarakat, misalnya pada kasus pelecehan seksual.
Tindakan Pelecehan Seksual
Menilik UU 12/2022 tentang TPKS, pelecehan seksual merupakan perbuatan seksual baik fisik maupun non-fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang.
Menurut Konselor UPTD P2A-DP3AKB Provinsi Jawa Barat, Ulfah Karima Yamani, bentuk pelecehan seksual terbagi menjadi dua, yakni verbal dan non-verbal.
“Jadi seperti cat calling, terus mengomentari bagian tubuh, itu verbal. Kalau non-verbal, itu seperti memegang bagian-bagian badan yang sensitif, gitu,” ungkapnya saat diwawancarai, Kamis (12/12/2024).
Arus digitalisasi, turut menjadi faktor pelecehan seksual bak pandemi tanpa pelaku sadari. Seperti mengomentari bagian tubuh di kolom komentar, hingga menyimpan gambar seseorang dengan tujuan pemenuhan hasrat seksual.
Ada beragam motif yang mendorong pelaku. Dua motif yang mendominasi, yakni nafsu dan relasi kuasa.
“Jadi misal pelaku itu laki-laki dewasa, korban itu anak kecil. Disana ada kesenjangan posisi antara pelaku dan korban, itu selalu terjadi. Terus misalkan dalam pacaran, perempuan dan laki-laki meskipun mereka satu umur, bagaimana konstruk masyarakat memposisikan laki-laki, dia bisa gunakan kekuasannya terhadap korban, gitu,” ujarnya.
Penanganan dan Pencegahan
Tindakan pelecehan seksual terhadap korban menimbulkan dampak yang beragam. Mulai dari psikis, fisik, penurunan rasa percaya diri, hingga dampak sosial.
Sebagai upaya mengatasi hal tersebut, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (UPTD P2A-DP3AKB) Jawa Barat, memberikan penanganan dan pendampingan pada korban. Penanganan diberikan menyesuaikan dengan kebutuhan korban.
“Pertama, pengecekan kesehatan fisik. Kalau terjadi pemerkosaan, berarti perlu ada pengecekan bagian reproduksi. Kedua, pendampingan proses hukum. Pada perempuan dewasa, itu akan kita tawarkan mau masuk ke jalur hukum atau tidak, mengingat prosesnya panjang. Ketiga, penguatan psikologis. Biasanya trauma korban itu muncul 3 bulan pasca kejadian, dan yang memicu bukan kejadiannya, melainkan stigma negatif masyarakat. Terakhir, upaya pendampingan ke lembaga-lembaga lain. Misalkan KDRT, terus istrinya pengen cerai tapi bingung mau kerja apa, itu kita distribusikan ke lembaga mitra untuk pemberdayaan ekonomi,” jelasnya.
Dalam upaya penanganan, UPTD P2A-DP3AKB Jawa Barat aktif menggelar kampanye baik konvensional maupun digital. Salah satu program yang gencar dilakukan yakni Jawa Barat Berani Cegah Tindakan Kekerasan (Jabar Cekas).
Pengentasan kekerasan seksual bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama. Ulfah menegaskan, tanggung jawab itu bisa dimulai dari unit terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga.