JURNALPOSMEDIA.COM- Swasembada pangan sudah lama menjadi impian banyak negara, termasuk Indonesia. Pemerintah ingin seluruh kebutuhan pangan bisa dipenuhi dari dalam negeri. Namun di balik ambisi itu, tersembunyi dampak ekologis yang mengkhawatirkan, terutama terhadap keberlangsungan hutan tropis kita.
Dalam beberapa bulan terakhir, banyak kebijakan untuk mengejar swasembada malah mendorong pembukaan lahan besar-besaran. Hutan-hutan tropis diubah menjadi sawah atau kebun satu jenis tanaman saja. Hal ini menghilangkan tempat hidup hewan liar dan mempercepat kerusakan hutan. Akibatnya, gas rumah kaca meningkat.
Hutan tropis Indonesia adalah salah satu yang terkaya di dunia, rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna yang tak ditemukan di tempat lain. Namun kini, perlahan-lahan berubah menjadi sawah dan kebun monokultur demi mengejar target swasembada.
Untuk memenuhi kebutuhan beras nasional, jutaan hektar lahan hutan diubah menjadi sawah, terutama di wilayah Papua. Perubahan fungsi lahan ini tak hanya menghilangkan tutupan hutan, tapi juga mengganggu siklus air, mempercepat emisi karbon, dan merusak keanekaragaman hayati.
Hal serupa terjadi pada komoditas lain seperti jagung, tebu, dan kelapa sawit. Demi mengejar “kemandirian pangan”, lahan-lahan digarap menjadi kebun besar yang hanya menanam satu jenis tanaman. Sistem monokultur ini membuat tanah cepat rusak, mengundang hama, dan pada akhirnya membutuhkan pestisida serta pupuk kimia dalam jumlah besar yang berdampak buruk bagi tanah dan air.
Dilansir dari Tempo.co lembaga Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai program swasembada pangan Presiden Prabowo merugikan lingkungan. Celios menyebut ada tiga masalah utama. Pertama, banyaknya perusahaan besar yang ikut terlibat membuat keputusan menjadi tidak netral karena berbenturan dengan keuntungan korporasi.
Kedua, orang-orang yang kurang berpengalaman justru diberi peran penting. Salah satunya adalah keterlibatan militer aktif atau pensiunan dalam proyek food estate di Merauke, Papua Selatan. Ketiga, pemerintah menerapkan sistem pertanian satu jenis tanaman yang membuat lahan terus dibuka tanpa henti.
Masalah lain adalah dampak sosial. Program swasembada sering mengambil lahan milik masyarakat adat dan petani kecil. Ketimpangan semakin besar dan konflik tanah semakin banyak. Hal ini bisa menimbulkan masalah yang lebih serius di masa depan.
Swasembada pangan memang penting, tapi bukan berarti semua harus diproduksi sendiri. Kita butuh cara yang lebih bijak dan ramah lingkungan. Pemerintah bisa fokus memperbaiki distribusi, mengubah pola makan, dan mendukung pertanian yang lebih alami. Kemandirian pangan sejati adalah yang tidak merusak alam dan adil bagi semua.