JURNALPOSMEDIA.COM – Program Magang Nasional yang menjadi salah satu agenda besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kini menjadi perbincangan hangat di kalangan anak muda, kampus, dan perusahaan.
Program yang menjanjikan magang bergaji setara Upah Minimum Provinsi (UMP) ini digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi tingginya angka pengangguran lulusan baru. Namun, di balik gebyar janji dan angka besar yang disampaikan pemerintah, muncul pertanyaan: apakah program ini benar-benar menawarkan masa depan, atau hanya menjadi proyek sementara untuk meredam kritik dan meningkatkan popularitas?
Menurut pemerintah, lebih dari seribu perusahaan telah bergabung, dan puluhan ribu posisi magang disiapkan untuk gelombang awal. Klaim ini tentu terlihat optimistis, terutama di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Namun, implementasinya justru membuka ruang kritik dari berbagai pihak.
Banyak mahasiswa dan lulusan baru mempertanyakan apakah program ini sekadar memberi pengalaman kerja sementara tanpa jaminan keberlanjutan, atau benar-benar mampu membuka jalan menuju pekerjaan tetap.
Permasalahan semakin kompleks ketika melihat kondisi lapangan. Banyak sektor industri yang sebenarnya masih mengalami ketidakstabilan dan belum mampu menyerap tenaga kerja baru secara signifikan. Perusahaan yang berpartisipasi dalam program ini pun tidak semuanya berada dalam kondisi sehat secara finansial. Kekhawatiran pun muncul: apakah program magang bergaji ini hanya memindahkan beban tenaga kerja ke pemerintah tanpa memberikan kontribusi jangka panjang pada peningkatan keterampilan dan kesejahteraan peserta?
Dari sisi pelaksanaan, tidak sedikit laporan bahwa perusahaan belum sepenuhnya siap menyediakan mentor, kurikulum pembinaan, ataupun lingkungan kerja yang mendukung. Tanpa pengawasan yang ketat, program ini berpotensi menjadi formalitas semata dimana peserta hanya melakukan pekerjaan rutin tanpa pembelajaran yang berarti. Padahal, tujuan magang seharusnya menciptakan pengalaman kerja yang relevan dan mempersiapkan peserta untuk kompetitif di pasar kerja.
Di sisi lain, pemerintah kota dan kementerian terkait harus menghadapi kenyataan bahwa masih banyak peserta yang mengaku bingung terkait mekanisme pendaftaran, alur seleksi, hingga kejelasan penempatan. Sosialisasi yang dinilai kurang merata menyebabkan sebagian besar masyarakat bahkan belum mengetahui program ini secara detail. Celah informasi inilah yang pada akhirnya menimbulkan persepsi bahwa program besar ini dikebut tanpa kesiapan matang.
Masalah utama yang perlu mendapat sorotan adalah keberlanjutan. Dengan anggaran negara yang harus terus dialokasikan untuk membayar insentif peserta, program ini berpotensi menjadi beban fiskal jika tidak dikaitkan dengan strategi pembangunan tenaga kerja jangka panjang. Tanpa arah yang jelas, kelangsungan program bisa tergantung pada kondisi ekonomi atau perubahan kebijakan politik.
Program Magang Nasional sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi terobosan. Namun, potensi tersebut tidak akan berarti jika pemerintah hanya fokus pada angka peserta dan publikasi, tanpa memperkuat fondasi pelaksanaannya. Permasalahan teknis, lemahnya pengawasan, hingga kesiapan perusahaan merupakan isu yang tidak bisa sekadar ditutupi oleh narasi optimis.
Jika pemerintah terus menyampaikan keberhasilan program melalui data yang belum tentu mencerminkan kondisi di lapangan, maka masyarakat terutama lulusan baru yang akhirnya menjadi korban dari kebijakan yang tidak matang. Program Magang Nasional seharusnya menjadi langkah besar menuju masa depan tenaga kerja Indonesia, bukan sekadar retorika politik yang kehilangan arah.
Kini saatnya pemerintah membuktikan bahwa program ini bukan hanya janji, tetapi benar-benar jalan menuju transformasi dunia kerja. Dan waktunya publik menuntut transparansi serta pertanggungjawaban penuh, sebelum program ini menjadi contoh lain dari kebijakan besar yang gagal menyentuh inti masalah.
















