JURNALPOSMEDIA.COM – Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (Dema-U) UIN Bandung gelar Kesaksian Gunung Djati sebagai tindak kepedulian terhadap kondisi krisis demokrasi nasional. Aksi tersebut berlangsung di Tugu UIN Bandung pada Jumat (9/2/2024).
Menindaklanjuti petisi mendesak pihak kampus atas sikap diamnya terhadap krisis demokrasi nasional, Dema-U UIN Bandung cetuskan undangan terbuka bagi para sivitas akademika. Guru besar, alumni, dosen, dan mahasiswa diundang untuk turut membersamai aksi pembacaan sikap dan mimbar gagasan sebagai bentuk keresahan masyarakat akan situasi darurat demokrasi nasional.
Terdapat lima tuntutan utama yang diserukan, yaitu menuntut tindakan Presiden Jokowi atas penyalahgunaan kekuasaan; mendesak pejabat negara, aparat negara, TNI-POLRI, untuk bersikap netral; menyeru pejabat yang menjadi tim paslon capres-cawapres untuk mengundurkan diri, menuntut pemilu demokratis dan tolak kecurangan; serta meminta masyarakat mengawasi keberlangsungan pemilu dengan ketat.
Salah satu Guru Besar, Prof. Asep Saeful Muhtadin mendukung aksi ini karena hal ini menjadi salah satu bentuk kepedulian terhadap demokrasi negara. Menurutnya, pemerintah harus memegang prinsip demokratis, yaitu dengan memperlakukan masyarakat secara setara tanpa adanya diskriminasi.
“Mengkritisi pemerintah itu harus demokratis. Dia memperlakukan semua komponen bangsa sama-setara, tidak membeda-bedakan yang satu yang lainnya, itulah yang memicu kemarahan masyarakat,” ungkapnya.
Ketua Dema-U, Muhammad Arya mengungkapkan bahwa sebelum mengadakan aksi ini, pihak mahasiswa sudah mengajukan petisi kepada pihak kampus untuk segera bergerak menanggapi isu krisis demokrasi yang terjadi di Indonesia. Namun, hingga kini pihak kampus masih bungkam dan tidak menanggapi.
“Kami dari pihak mahasiswa sebelum adanya agenda ini, membuat petisi dan meminta pihak kampus untuk segera bergerak. Namun, faktanya tidak ada (pergerakan),” jelasnya.
Karena tidak adanya kabar dari kampus, Arya dan lima mahasiswa dari Dema-U mengambil inisiatif untuk menggelar aksi ini. Keputusan ini ditujukan untuk pemimpin agar menyadari bahwa kampus bukan hanya tempat untuk belajar secara akademis, tetapi juga sebagai wadah untuk memberikan aspirasi.
Di samping itu, Arya mengaku bahwa dirinya kerap menghadapi intimidasi dari berbagai pihak, termasuk dari lingkungan kampus dan pihak eksternal. Gertakan tersebut dimulai dari pesan singkat hingga panggilan telepon. Tetapi ia menegaskan hal tersebut tidak akan menghentikan aksi seruan ini.
“Banyak intimidasi ke kami juga untuk tidak melakukan aksi ini, tetapi karena hati kami ikut bergerak dan hati kami bergetar untuk melakukan aksi ini, jadi intimidasi itu hanya dianggap angan-angan saja,” tegasnya.
Kurangnya kesadaran pihak kampus terkait krisis demokrasi membuat Arya dan kawan-kawan merasa kecewa dan berharap untuk saling mengingatkan dan berupaya memperbaiki kondisi krisis demokrasi guna menciptakan lingkungan yang lebih demokratis, khususnya kepada para mahasiswa.