JURNALPOSMEDIA.COM – Saat ini, kecantikan sering dianggap sebagai sebuah kewajiban yang harus dimiliki oleh setiap perempuan. Sejak kecil, perempuan diajarkan untuk merawat diri, baik dari segi penampilan fisik maupun sikap. Namun, definisi kecantikan yang berlaku di masyarakat sering kali tidak realistis, terbentuk oleh konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh media dan budaya patriarki.
Standar kecantikan ini mencakup ukuran tubuh tertentu, seperti kulit putih, tubuh langsing, tinggi, dan rambut lurus yang seringkali tidak mencerminkan keberagaman perempuan Indonesia. Hal ini menjadi tantangan besar bagi perempuan yang merasa tertekan untuk memenuhi standar kecantikan tersebut, bahkan jika harus melalui prosedur kosmetik atau diet ekstrem.
Riset yang dilakukan oleh Naomi Wolf dalam bukunya The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women (1990) mengemukakan bahwa mitos kecantikan adalah konstruksi sosial yang sengaja dibentuk untuk mengontrol perempuan, dengan mengaitkan kecantikan pada kesuksesan dan kebahagiaan. Wolf menjelaskan bahwa kecantikan bukanlah sebuah konsep yang bersifat objektif atau universal, melainkan suatu sistem yang dibangun oleh kekuatan ekonomi dan politik. Mitos kecantikan ini, menurutnya, berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan dominasi patriarki, karena perempuan dihargai berdasarkan penampilan fisik mereka, sementara kualitas diri lainnya sering terabaikan.
Fenomena ini dapat dilihat dari cara media dan iklan menggambarkan sosok perempuan ideal. Model-model yang tampil dalam iklan kosmetik, misalnya, hampir selalu memiliki tubuh langsing, kulit putih, dan paras yang menawan, sebuah gambaran yang tak dapat dicapai oleh semua perempuan. Hal ini menciptakan ketidakpercayaan diri atau perasaan tidak cukup bagi banyak perempuan yang merasa tidak memenuhi standar tersebut. Tidak jarang, perempuan yang merasa kurang percaya diri akhirnya terjebak dalam upaya untuk menyesuaikan diri dengan citra kecantikan yang sempit tersebut. Mereka pun lebih memilih untuk melakukan perawatan tubuh, diet ketat, hingga prosedur kosmetik demi mendapatkan pengakuan sosial atau sekadar merasa diterima.
Kecantikan bukan hanya mempengaruhi persepsi tentang fisik, tetapi juga tentang posisi sosial perempuan. Mitos ini menempatkan perempuan pada posisi di mana mereka terus-menerus dinilai berdasarkan penampilan luar, yang pada akhirnya merugikan kebebasan mereka untuk berkembang dalam aspek lainnya, seperti karir atau intelektualitas. Masyarakat yang menganut sistem patriarki semakin memperkuat norma ini, di mana perempuan lebih dihargai berdasarkan penampilan fisiknya daripada kontribusinya dalam bidang lain.
Dampak dari mitos kecantikan ini sangat besar, terutama dalam membentuk pola pikir perempuan dalam menjalani hidup mereka. Banyak perempuan yang merasa terjebak dalam lingkaran keinginan untuk memenuhi standar kecantikan tersebut. Hal ini tidak hanya merugikan kesehatan mental mereka, tetapi juga mengabaikan kecantikan sejati yang berasal dari dalam, yaitu karakter, kepribadian, dan potensi yang dimiliki oleh setiap individu.
Sebagai solusi, kita perlu menggugah kesadaran untuk lebih menerima keberagaman bentuk tubuh, warna kulit, dan penampilan. Standar kecantikan yang ada harus diubah, agar perempuan bisa merasa nyaman dengan diri mereka sendiri tanpa tertekan untuk memenuhi standar yang tidak realistis. Kecantikan harus dilihat sebagai sesuatu yang subjektif dan fleksibel, bukan sebagai ukuran tetap yang digunakan untuk menilai nilai seorang perempuan. Dengan demikian, kita dapat mendorong terciptanya masyarakat yang lebih inklusif dan menghargai perempuan dalam seluruh keberagaman dan kompleksitasnya.