JURNALPOSMEDIA.COM – Tak hanya menjadi media berkomunikasi dan sarana informasi, media sosial juga digunakan sebagai ajang eksistensi diri, hiburan, hingga berbisnis. Hal itulah yang membuat setiap orang memiliki preferensi berbeda dalam menggunakannya.
Salah satu mahasiswi Universitas Negeri Jakarta, Nurjana Fitri Romadhon mengatakan bahwa tujuan ia menggunakan media sosial untuk komunikasi dan promosi. Walaupun tak menampik sudah sedikit kecanduan, namun ia lebih merasakan dampak yang positif ketika menggunakan media sosial.
“Lebih banyak hal positif yang berdampak ke saya sih, apalagi untuk online shop saya. Karena jarang menggunakan media sosial pribadi sehingga tidak terlalu banyak dampak negatifnya. Dalam artian saya lebih sering ngurusin media sosial untuk jualan,” ujar Fitri ketika dihubungi melalui WhatsApp, Sabtu (10/10/2020).
Di samping itu, salah satu mahasiswi Jurnalistik UIN Bandung, Naufalia Nisrina lebih sering menggunakan media sosial Twitter dan Instagram untuk mengetahui topik apa yang sedang ramai dibincangkan. Durasi pemakaian bagi dirinya maksimal seharian penuh. Ia mengaku kecanduannya pada aplikasi tersebut digunakan untuk mendapat informasi.
“Kalau buat saya sendiri itu menjadi candu, karena tujuan saya lebih ke ingin tahu mengenai topik pembahasan yang lagi hits apa. Saya merasa senang menjadi tahu pemberitaan atau info-info,” kata Nisrina di hari yang sama dengan Fitri.
Namun, di balik penggunaan media sosial yang umumnya berorientasi pada kebutuhan informasi atau sekedar menghibur diri ternyata dapat memengaruhi sisi psikologis seseorang, baik itu positif ataupun negatif. Hal itu diungkapkan salah satu mahasiswa Jurnalistik UIN Bandung, Muhammad Rafi Naufal.
Rafi mengatakan bahwa ia seringkali mendapat motivasi diri dari sejumlah akun yang dinilainya memiliki konten yang bermanfaat. Kendati demikian, ia juga sering merasakan kecemburuan sosial bahkan kepada postingan seorang teman sekalipun.
“Kecemburuan sosial sering dirasain saat misalkan teman yang mengunggah foto liburan yang terlihat lebih ke sombong niatnya, terus kayak pamer barang-barang yang sifatnya bikin iri,” jelas Rafi kepada Jurnalposmedia.
Adapun perasaan kecanduan, kesepian, membandingkan diri, dan rendah diri pernah dirasakan oleh mahasiswi Universitas Andalas, Winda Mailindra. Meski sempat mengalami perasaan tersebut, hal itu diakuinya sudah jarang dirasakan karena mulai mampu mengantisipasinya.
“Antisipasi yang aku lakukan mengurangi intensitas bermain sosial media sih, dan mulai cintai diri sendiri jadi enggak perlu deh insecure. Yang kita lihat belum tentu seindah itu kok. Terus di-filter aja, kita pasti tahu kan yang baik yang mana yang buruk yang mana,” ujar Winda.
Menyikapi Media Sosial
Berangkat dari beragamnya dampak yang dirasakan sejumlah orang terhadap aktivitas bermedia sosial, salah satu dosen sekaligus Ketua Unit Layanan Psikologi (ULP) Fakultas Psikologi UIN Bandung, Nisa Hermawati mengutarakan dampak yang didapat dari aktivitas tersebut bergantung pada tujuan pengguna serta bagaimana menggunakannya.
Selain itu, menurutnya suasana hati (mood) ketika mengakses media sosial juga menjadi faktor sejauh mana hal itu berpengaruh bagi penggunanya. Jika seseorang melihat media sosial secara menyenangkan maka itu baik untuk keadaan psikologisnya. Sebaliknya, jika seseorang tidak siap dengan konsenkuensi ketika mengaksesnya, maka hal tersebut bisa berdampak buruk.
“Jika melihat media sosial dengan sesuatu yg baik mungkin itu dapat meningkatkan motivasi sesorang. Tapi jika misalnya kita tidak siap untuk menerima konsekuensi seperti mendapatkan hal yang tidak mengenakan dari orang lain lewat media sosial, itu dapat menimbulkan stres, tidak percaya diri, bahkan berpangaruh juga pada self love seseorang,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan kiat-kiat untuk memininalisir dampak buruk dari bermedia sosial. Menurutnya, kesadaran serta kesiapan akan hal apapun yang didapat dari media sosial menjadi poin penting agar kesehatan mental bisa tetap terjaga.
“Di media sosial kita melihat posting-an orang dari berbagai belahan dunia, karenanya yang bisa mem-filter (adalah) diri kita sendiri. Jangan semuanya diterima atau ditelan bulat-bulat. Pada saat menggunakan media sosial akan selalu ada hal yang tidak terkontrol, karena itu kita dituntut untuk aware dengan segala konsekuensi ketika kita mengaksesnya,” tutup Nisa.