JURNALPOSMEDIA.COM – Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja merupakan langkah mundur bagi demokrasi Indonesia. Pasalnya, beberapa prosedur dikebut di tengah ancaman pandemi Covid-19. Suara rakyat tidak didengar dan dibungkam dengan represifitas, aturan demi kepentingan “orang gedean” bergantian disahkan secara serampangan. Tidak hanya klaster Cipta Kerja, lingkungan kita juga terancam aturan sapu jagat.
Dibahas secara cepat, RUU Cipta Kerja seperti anak emas dalam omnibus law. Pasal-pasal di dalamnya berpotensi menghilangkan hak-hak pekerja dan menguntungkan para pengusaha. Kontroversi aturan sapu jagat terutama klaster Cipta Kerja, tidak hanya pada pembahasannya yang dilakukan secara gelap, namun juga pada hilangnya hak penyampaian aspirasi publik.
Alih-alih menjaring seluas-luasnya aspirasi publik, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengabaikan banyak sekali masukan, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Padahal, dalam Pasal 96 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, isinya menjamin hak masyarakat untuk memberi masukan dalam perumusan undang-undang.
Setelah tahun lalu produk reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berhasil dikebiri oleh pemerintah dan DPR, tampaknya para elit kuasa belum merasa puas. Rapor dengan prestasi cemerlang sepertinya layak diberikan kepada DPR karena berhasil mengegolkan dua aturan. Meskipun dikerjakan secara tak kasat mata dan penuh kontroversi.
Tampaknya selain virus, beberapa bulan atau bahkan tahun ke depan para pekerja di Indonesia dapat ancaman baru, yaitu hilangnya Upah Minimum Sektoral, penurunan pesangon dari 32 bulan menjadi 25 bulan upah, hilangnya hak upah atas cuti, hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena karyawan bisa dikontrak, serta alih daya seumur hidup.
Cuap-cuap presiden pada pidato awal pelantikan akhirnya berhasil disahkan. Waktu setahun dibayar kontan dengan rasa kecewa. Entah menguntungkan siapa, yang jelas UU Cipta Kerja ini sudah cacat prosedur dari awal dan tidak memihak kepada para pekerja.