JURNALPOSMEDIA.COM – Setiap tahunnya, tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang kesetaraan gender, salah satunya bagi jurnalis perempuan.
Dilansir dari laman Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, jurnalis perempuan paling rentan menjadi korban kekerasan seksual di dunia kerja. Dalam riset terbarunya bersama Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) didukung International Media Support (IMS)pada tahun 2022, 82,6% jurnalis perempuan di 34 provinsi pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karirnya. Kekerasan seksual tersebut terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari body shaming hingga paksaan melakukan hubungan seksual.
Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk diskriminasi gender yang paling merusak, merampas martabat, dan hak-hak perempuan, serta menghambat kemajuan mereka dalam semua aspek kehidupan. Tidak hanya itu, kekerasan seksual juga mengakibatkan dampak psikologis-profesional yang serius dan trauma jangka panjang bagi korban. Meskipun telah banyak upaya untuk mengatasi masalah ini, tetapi masih banyak yang harus dilakukan untuk mengakhiri pandemi kekerasan seksual ini.
Dalam temuan riset AJI Indonesia, pelaku kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan merupakan narasumber, rekan kerja, hingga (oknum) aparat kepolisian. Ironisnya, kekerasan seksual yang dilakukan narasumber merupakan persoalan yang rumit, lantaran mereka tetap tidak bisa menghindari pertemuan dengan narasumber tersebut setelah kekerasan yang dialami. Begitu pula dengan rekan kerja yang menganggap pelecehan verbal sebagai gurauan semata.
Meski hal ini telah diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, realitanya masih banyak pihak yang belum membuka mata. Berdasarkan hal tersebut, dipandang perlu adanya aturan pencegahan dan penangan kasus kekerasan seksual dalaminternal perusahaan dan organisasi pers masing-masing. Aturan tersebut dapat berupa Standar Operasional Prosedur (SOP), peraturan perusahaan, atau Perjanjian Kerja Sama (PKS). Harapannya, aturan yang dibuat setidaknya dapatmemberikan jaminan kepada korban untuk melaporkan kasusnya untuk kemudian ditangani oleh perusahaan pers atau organisasi tempat korban bernaung.
Memerangi kekerasan seksual tentu bukan hanya tanggung jawab pihak di atas. Melalui kerjasama berbagai lembaga, seperti Dewan Pers, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan seluruh lapisan masyarakat, kita perlu lantang mengangkat isu kekerasan seksual, memberikan dukungan kepada korban, dan mendorong implementasi kebijakan yang lebih efektif dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual.
Oleh karena itu, dalam memperingati Hari Perempuan Internasional, penting bagi kita semua untuk mengambil tindakan konkret dalam memerangi kekerasan seksual, terutama pada jurnalis perempuan. Kita perlu mengedepankan pendidikan tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan, memperkuat sistem perlindungan korban, meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan dan bantuan hukum, serta menggugah kesadaran kolektif untuk mengubah budaya patriarki yang merugikan.
Selamat Hari Perempuan Internasional!