JURNALPOSMEDIA.COM – Fenomena body shaming atau mempermalukan seseorang berdasarkan bentuk atau ukuran tubuhnya terus menjadi isu serius di kalangan perempuan Indonesia. Tindakan ini bisa berupa komentar langsung mengenai penampilan fisik atau sindiran yang merendahkan. Mirisnya, fenomena ini tidak hanya datang dari lawan jenis, tetapi juga dari sesama perempuan.
Di Indonesia, pengaruh media sosial sangat besar dalam membentuk standar kecantikan yang ideal. Berbagai platform seperti Instagram dan TikTok telah menjadi sarana bagi selebgram, influencer, hingga artis untuk menampilkan gambaran tubuh yang dianggap ideal biasanya kurus, tinggi, berkulit cerah. Gambaran ini secara tidak langsung memberi tekanan kepada banyak perempuan untuk memenuhi standar tersebut.
Akibatnya, perempuan yang tidak sesuai dengan standar ini seringkali menjadi sasaran body shaming, bahkan dari sesama perempuan. Di beberapa kasus, sesama perempuan justru terlihat lebih kritis dalam menilai penampilan satu sama lain, sehingga memunculkan persaingan yang tidak sehat.
Mengapa Body Shaming Terjadi Antar perempuan?
Fenomena body shaming antar perempuan sering kali disebabkan oleh internalisasi standar kecantikan yang sangat kuat. Menurut penelitian, perempuan yang merasa kurang percaya diri atau insecure terhadap tubuhnya sendiri seringkali terjebak dalam siklus negatif, di mana mereka mencoba mengkritik tubuh orang lain untuk merasa lebih baik.
Dampak body shaming pada kesehatan mental sangat signifikan. Perempuan yang menjadi korban body shamingkerap merasa rendah diri, kehilangan kepercayaan diri, bahkan bisa mengalami gangguan makan dan depresi. Studi menunjukkan bahwa kritik berulang terhadap bentuk tubuh seseorang dapat meninggalkan trauma jangka panjang, yang menghambat mereka dalam mengekspresikan diri dan meraih potensi penuh dalam hidupnya.
Laporan Komnas Perempuan juga menunjukkan bahwa body shaming semakin banyak diadukan sebagai faktor penyebab gangguan mental di kalangan perempuan muda di Indonesia. Bahkan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berfokus pada kesehatan mental mencatat peningkatan kasus kecemasan dan depresi yang dipicu oleh fenomena ini.
Body shaming di kalangan perempuan Indonesia mencerminkan tekanan sosial dan standar kecantikan yang berdampak negatif. Untuk mengurangi fenomena ini, dibutuhkan kesadaran kolektif untuk menghargai keragaman bentuk tubuh dan membangun budaya saling mendukung. Pendidikan mengenai pentingnya menerima tubuh apa adanya dan berhenti mengomentari tubuh orang lain diharapkan dapat mengubah pola pikir masyarakat.
Adanya solidaritas antar perempuan dan lingkungan yang mendukung, diharapkan fenomena body shaming ini dapat berkurang, dan perempuan dapat merasa lebih percaya diri untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa merasa ditekan oleh standar kecantikan yang sempit.