Tue, 25 November 2025

Rp200 Miliar dan Ancaman Otoritas: Ketika Pejabat Melangkahi Mandat Dewan Pers

Reporter: Allyssa Viri Diana Ibrahim | Redaktur: KHOIRUNNISA FEBRIANI SOFWAN | Dibaca 121 kali

16 jam yang lalu
(Sumber foto: Pinterest)

JURNALPOSMEDIA.COM – Gugatan fantastis sebesar Rp200 Miliar dilayangkan kepada Tempo oleh Menteri Pertanian, Amran Sulaiman pada Rabu, (7/07/2025). Gugatan secara perdata ini dituding karena Tempo tidak menjalankan Pernyataan, Penilaian, dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers atas artikel “Risiko Bulog Setelah Cetak Rekor Cadangan Beras Sepanjang Sejarah” dengan sampul poster gambar karung beras bertuliskan “Poles-Poles Beras Busuk”. Hal tersebut dianggap oleh Menteri Pertanian melanggar 3 Kode Etik Jurnalistik yakni, berlebihan, tidak akurat, dan mencampur-adukkan opini dengan fakta karena penggunaan diksi “busuk”.

Penggunaan diksi “busuk” memang memiliki konotasi negatif yang kuat dan dapat dianggap hiperbola, serta mampu mengarahkan pada penggiringan opini terlebih tidak sesuai dengan realitanya. Namun, Tempo menjelaskan bahwa penggunaan diksi “busuk” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung dua makna, yaitu rusak dan berbau tidak sedap. Hal tersebut selaras dengan pernyataan para narasumber meliputi petani, pengamat pangan, pejabat Bulog, dan Menteri Pertanian. Dalam membuat sebuah judul berita maupun artikel, para jurnalis seringkali harus menggunakan bahasa yang kuat agar dapat menarik minat pembaca dengan catatan selaras dengan isi dan realita yang terjadi. Karena pada hakikatnya tugas pers yaitu sebagai pengawas sekaligus pelapor apabila terdapat isu atau temuan yang tidak selaras dengan hal-hal yang seharusnya, bahkan jikalau pada realitanya pahit bagi penguasa.

Meskipun begitu, pada 19 Juni 2025, Tempo telah menjalankan PPR dengan mengubah judul poster menjadi “Main Serap Gabah Rusak” meminta maaf kepada pengadu dan pembaca, menghapus pos lama edisi 16 Mei 2025, serta telah melaporkan pelaksanaan PPR kepada Dewan Pers. Namun, pada 2 Juli 2025, Redaksi Tempo mendapatkan informasi, Menteri Pertanian, Amran Sulaiman menggugat Tempo secara perdata sebesar Rp200 Miliar ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hal tersebut menjadi tanda tanya, mengapa pelaporan langsung ke Pengadilan Negeri alih-alih melalui Dewan Pers?

Berdasarkan UU Pers No. 40 Tahun 1999 hal tersebut bertentangan, karena di dalamnya secara eksplisit seharusnya terkait permasalahan yang menyangkut proses maupun produk pers (sengketa pers) diselesaikan melalui mekanisme Hak Jawab atau pelaporan ke Dewan Pers terlebih dahulu. Tuntutan ganti rugi sebesar Rp200 Miliar terhadap Tempo dengan dalih Kementrian Pertanian dan Amran Sulaiman merasa dirugikan secara immateriil akibat pemberitaan oleh Tempo yang dinilai berdampak pada menurunnya kinerja kementrian dan petani di Indonesia merupakan tindakan tidak proporsional dan berlebihan. Hal tersebut dapat menciptakan efek jera (chilling effect) yang mampu membuat jurnalis atau media merasa terintimidasi atau takut untuk melaporkan isu-isu tertentu karena ancaman hukuman atau sanksi-sanksi yang lain, serta dapat mengancam kebebasan pers itu sendiri.

Seharusnya selaku pejabat publik, terkhusus setingkat Menteri seharusnya cukup bertindak sebagai fasilitator, pengawas, dan penegak regulasi yang diciptakan, bukan malah menjadi pihak yang menyerang pilar keempat yakni demokrasi. Tindakan Amran Sulaiman yang membawa sengketa ini ke ranah perdata dengan tuntutan tersebut menimbulkan pertanyaan besar mengenai prioritas lembaga negara. Alih-alih memantapkan energi dan sumber daya kementerian untuk perbaikan kinerja denan memastikan kualitas cadangan beras dan menyelesaikan masalah di Bulog, justru menghabiskan waktu, biaya, dan otoritas negara untuk menuntut sebuah media. Gugatan ini secara implisit menunjukkan bahwa menjaga citra dan reputasi pribadi/lembaga menjadi lebih penting daripada menyelesaikan akar masalah pangan yang ditemukan pers. Sebagai pembuat kebijakan, Menteri Pertanian seharusnya menjadi teladan kepatuhan terhadap Undang-undang Pers, bukan pihak yang justru melangkahi jalur penyelesaian sengketa yang sudah diatur konstitusi.

Jika keberatan utama Menteri Pertanian (Mentan) adalah 3 pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, maka langkah yang proporsional, etis, dan konstitusional adalah sepenuhnya memercayakan penyelesaian kepada Dewan Pers. Proses di Dewan Pers melalui hak jawab, mediasi, hingga pemberian Penilaian dan Rekomendasi (PPR) adalah mekanisme yang dirancang untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan pers dan tanggung jawab pers. Dewan Pers berwenang memberikan sanksi moral dan etik yang dampaknya terhadap kredibilitas media justru jauh lebih signifikan dibandingkan sanksi perdata yang berfokus pada ganti rugi finansial. Dengan menempuh jalur perdata (Pengadilan Negeri), Menteri Pertanian bukan hanya melangkahi mandat Dewan Pers, tetapi juga menunjukkan upaya menggunakan kekuasaan untuk membungkam kritik melalui ancaman finansial yang masif.

Pada akhirnya, kasus gugatan Rp200 Miliar ini adalah sebuah episode penting yang menguji kemewahan kekuasaan dan kerentanan kebebasan pers di Indonesia. Keberatan terhadap diksi “busuk” seharusnya dijawab dengan pembuktian perbaikan sistem dan kinerja, bukan dengan tuntutan yang mengancam eksistensi media. Pers memiliki fungsi mulia sebagai pengawas (watchdog) agar lembaga negara tetap akuntabel dan berjalan dengan baik. Melalui tuntutan perdata yang tidak proporsional dan tidak melalui jalur Dewan Pers, Menteri Pertanian, Amran Sulaiman telah mengirimkan sinyal bahaya bahwa koreksi dan kritik dari pers akan dibalas dengan konsekuensi hukum dan finansial yang berat. Pemerintah, sebagai fasilitator, harus kembali pada peran awalnya, yaitu memperbaiki sistem dan kinerjanya jika memang terdapat kesalahan, alih-alih mencoba mengontrol dan mengacak-acak kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi.

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments