JURNALPOSMEDIA.COM-Negara yang memiliki sistem pemerintahan berbentuk demokrasi adalah suatu negara yang melibatkan semua warga negaranya dalam pengambilan keputusan. Setiap warga negara tersebut memiliki hak yang setara, salah satunya hak memilih pemimpin.
Di Indonesia, pengambilan keputusan warga negara dalam memilih pemimpin dilakukan setiap 5 tahun sekali. Yakni, melalui pemilihan umum (Pemilu) dengan kategori pemimpin yang berasal dari eksekutif dan legislatif. Pemilihan eksekutif terdiri dari pemilihan calon presiden dan wakilnya, serta pemilu legislatif terdiri dari anggota dewan perwakilan rakyat atau daerah.
Pada 2014 lalu, pemilihan legislatif dan eksekutif diselenggarakan secara terpisah. 9 April 2014 untuk pemilihan legislatif dan 9 Juli 2014 untuk pemilihan eksekutif. Namun, atas putusan Mahkamah Agung (MK) dalam gugatannya nomor 14/PUU-XI/2013 yang diputus pada 23 Januari 2014, sehingga membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres yang mengatur pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan Pileg alias tidak serentak.
Atas putusan MK tersebut, Pemilu tahun ini dilaksanakan secara serentak untuk pemilihan legislatif dan eksekutif. Pada Rabu, 17 April kemarin warga negara Indonesia memenuhi hak dan kewajibannya untuk menentukan suara mereka dalam Pemilu 2019 secara serentak dalam memilih pileg dan pilpres.
Berbagai Polemik dan Problematik Pemilu 2019 bermunculan diantaranya, pertama dalam pemilu serentak tersebut, pemilih memiliki hak dan kewajiban untuk memlih dalam 5 surat suara yakni presiden dan wakilnya untuk pemilihan eksekutif lalu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat Kab/Kota untuk pemilihan legislatif yang masing-masing surat suaranya dibedakan melalui warna yakni abu-abu, hijau, kuning, merah dan biru.
Namun dalam kenyataannya, masyarakat tidak terlalu mengetahui sistem pemilu tahun ini secara merata. Sosialisasi dan pengetahuan yang minim membuat masyarakat tidak mengenali siapa saja calon legislatif pada pemilu tahun ini. Meski banyak banner yang bertebaran di pinggir jalan raya sebagai media kampanye dalam bentuk komunikasi politik untuk mengenalkan siapa saja calon legsilatif tersebut. Tetapi, hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataannya, masyarakat masih belum mengenali, kampanye tersebut dinilai belum efektif.
Hal tersebut berdampak pada estimasi waktu yang dipakai seorang pemilih di dalam bilik suara, sehingga perhitungan panitia KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) dalam mendata dan menghitung suara terlampau lama.
Kedua, beberapa ketua KPPS di kota-kota tertentu dinyatakan meninggal dunia, diduga karena kelelahan ketika menjalankan tugasnya. Kejadian tersebut terjadi di salah satu TPS di kota Bogor, Tasikmalaya, Jakarta dan Purwakarta. Berita-beritanya pun tersebar di beberapa platform media online seperti Kompas, detikNews, CNN Indonesia, Jawa pos dan lain-lain.
Ketiga, Pemilu bagi WNI yang menetap di luar negeri dilakukan lebih awal yakni pada 08-14 April 2019. Namun, banyak dari WNI yang memilih disana seperti di Hongkong dan Australia malah mengalami kesulitan dalam memenuhi hak dan kewajibannya. Seperti yang terjadi di Australia pada 13 April, ratusan WNI yang hendak memenuhi hak dan kewajibannya malah tidak dapat memilih walaupun sudah mengantre sekian lama. Hal tersebut diakibatkan karena keputusan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) yang langsung menutup pintu penutupan dengan keadaan ratusan pemilih yang masih menunggu diluar TPS, belum melakukan pemilihannya.
Selain di Australia, pemilihan bagi para WNI di Hongkong juga mengalami kesulitan. Pasalnya, beberapa WNI yang mendapatkan undangan pencoblosan justru tidak terdaftar di TPS setempat. Bahkan, setidaknya 50 WNI gagal untuk memberikan hak pilih mereka di TPS yang ada di Wanchai, Hongkong.
Lalu, problematika yang keempat justru datang dari faktor internal. Yakni, munculnya polemik mengenai hasil cepat perhitungan suara (quick count) dan real count. Dirilisi oleh lembaga-lembaga survei perhitungan tertentu dan disalurkan lewat media-media seperti stasiun televisi. Perolehan hasil suara tersebut menuai konflik ketika hasil quick count dan real count justru berbeda. Opini-opini publik yang disalurkan lewat media sosial pun bermunculan. Salah satu opini tersebut adalah mereka yang menyatakan bahwa perbedaan antara hasil quick count dan real count tersebut diakibatkan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang tidak netral dan cenderung memihak.
Ajang pemilu seharusnya dijadikan sebagai momentum pesta demokrasi bagi negara-negara yang menganut bentuk pemerintahan demokrasi. Sebagai ajang persatuan, bukan perpecahan. Sebagai hal untuk memulai perubahan, bukan kekacauan.