Mon, 19 May 2025

Lirik Lagu “Normal, Moral” dan Pesan Tentang Orde Baru Didalamnya

Reporter: Muhamad Tegar Pratama/Kontibutor | Redaktur: Rais Maulana Ihsan | Dibaca 1794 kali

Sun, 17 May 2020
Dok. Pribadi (Muhamad Tegar Pratama/Kontributor)

JURNALPOSMEDIA.COM – Normal, Moral adalah judul di nomor pertama dan otomatis sebagai pembuka lagu dari album NKKBS. Sekilas, lirik dari lagu ini seperti romantisme masa kecil yang kembali hadir dalam bayang-bayang para personil kolektif Melancholic Bitch.

Tetapi ternyata dalam lirik lagu Normal, Moral atau mungkin pada seluruh lagu dalam album NKKBS memanglah berisikan clues atau petunjuk. Didalamnya kita seperti diajak menelusuri waktu dan membaca kondisi yang terjadi pada saat itu. Lalu, pada akhirnya memikirkan relevansinya terhadap pada kejadian hari ini. Layaknya perkataan sang vokalis, Ugo mengungkapkan bahwa Orde Baru belum mati, dia merasuk dan masih terasa dalam banyak sendi kehidupan sampai saat ini.

Lagu ini dari awal memang langsung menunjukan secara terang-terangan bahwa ini adalah memori subjektif masa kecil mereka. Terdengar dari penggalan lirik “Hantu-Hantu masa kecil bangkit dari tidurnya yang panjang”. Kenapa Hantu? Karena pada saat mereka kecil tidaklah mungkin terpikirkan bahwa segala kejadian yang terjadi adalah sebuah fenomena politis dari sebuah rezim. Saat dewasa, barulah mereka mengerti hal seperti apa yang dirasakan dan terdapat isu apa didalamnya.

Lalu, lirik “Hantu-Hantu masa kecil lepas berbaris dan bergerak”. Kata-kata “Berbaris dan Bergerak” pastilah merujuk pada Tentara. Pada masa Orde Baru, tentara memanglah menjadi sebuah alat propaganda dan provokasi masyarakat.  Bahkan sampai pada lini kontrol paling kecil, yaitu desa yang menjadi sumber sandang pangan dan kebanyakan masyarakat Indonesia tinggal di sana.

Stanza pertama lagu Normal, Moral memang menjadi pembuka bagi sebuah cerita dari memori masa lalu. Tanpa disadari era itu masih hadir dan menghantui kita pada saat ini. Dan menjadi sebuah awal dari sebuah cerita dengan narasi besar NKKBS.

Pada Alinea kedua, Melancholic Bitch masih membicarakan tentang memori yang mereka rasakan, yaitu program ABRI Masuk Desa (AMD). Menurut Soebiyanto, program tersebut adalah dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang menunjukan sebuah konsep selain menjaga ketahanan negara. Mereka juga hadir sebagai kekuatan sosial-politik yang hadir dalam segala kegiatan masyarakat dan negara demi terwujudnya tujuan nasional.

Program AMD ini diluncurkan oleh Jenderal M. Jusuf pada tahun 1980 ketika dia menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Meskipun diluncurkan pada tahun 1980, Dwifungsi ABRI pertama kali muncul pada seminar Angkatan Darat pertama yang dilaksanakan pada tanggal 2-9 April 1965. Program ini dimaksudkan sebagai tanggapan terhadap kritik ikatan erat antara ABRI dan masyarakat desa yang sedang mengalami erosi.

Pada hal ini AMD sangatlah terasa pada lirik “Pos Ronda Berencana Babinsa Bahagia”. Pos Ronda sebagai simbol bagi keamanan sebuah kampung yang pada saat itu dikendalikan oleh Bintara Pembina Desa (Babinsa).

Bait setelahnya pun menjelaskan sebuah situasi pada saat itu dengan lirik “Pak disepakpak para preman Awas awas ada anjing gila”. Tafsiran awal yang ditujukan seperti  Babinsa mengusir para preman yang memang pada saat itu sedang gencar-gencarnya diburu dan dihilangkan. Atau mungkin mereka sendirilah para preman itu.

Karena hubungan antara ABRI dengan rakyat membuat semakin banyak dan tingginya posisi mereka di dalam pemerintahan. Hal itu memunculkan sikap angkuh dan arogan di dalam tubuh personelnya, sehingga hubungan ABRI dan rakyat semakin jauh.

Selanjutnya, pada Stanza ke-3 dan ke-4, Melancholic Bitch mencoba menjelaskan tentang sebuah politisasi pendidikan yaitu Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Sebelum berlanjut, patut rasanya berterima kasih kepada Indira Ardanareswari yang telah menuliskan sejarah PMP dalam artikelmya di tirto.id .

Henry Alexis Rudolf dalam bukunya ‘50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 19451995′ mengatakan bahwa pendidikan sebagai alat politik adalah wajar. Pendidikan di Indonesia mulai bermuatan politis dari tahun 1950 pada era Soekarno dengan membuat sistem pendidikan menyeluruh atau disebut pendidikan nasional.

Maka dari itu, dalam hal ini pelajaran PMP adalah upaya rezim Orde Baru untuk menetralisasi sebuah pendidikan dari era Orde Lama Soekarno yang kental dengan ideologi sosialis yang pertama kali diluncurkan dalam buku Ilmu kewarganegaraan (Civics) pada 1959.  Buku tersebut menjadi sarana penyebaran ideologi Soekarno sebelum akhirnya resmi dihapus oleh rezim Orde Baru pada 1970.

Setelah politik berangsur lebih stabil pada saat kemenangan pemilu tahun 1971, Orde Baru mengeluarkan aturan jangka panjang melalui Ketetapan MPR No. IV pada tahun 1973. Setelah itu, PMP menjadi pengganti pelajaran Civics dan disempurnakan pada tahun 1978 dan 1983.

Secara konsep memang PMP adalah sebuah konsep besar pendidikan untuk menumbuhkan toleransi keberagaman dan tujuan nasional bersama. Tetapi, menurut Darmaningtyas dalam bukunya Pendidikan yang Memiskinkan yang diterbitkan pada tahun 2004 menyebutkan bahwa secara implementasi perpindahan dari pelajaran Civics ke PMP bermuatan politik sangat besar dan terindikasi bahwa pelajaran Civics tidak berkontribusi terhadap penguasa sehingga patut diganti.

Sebaliknya, pelajaran PMP itu sendiri dinilai dapat membendung daya kritis siswa karena dalam pelaksanaannya hanya mengahapal butir-butir yang terkandung pada pancasila tanpa pendalaman yang mendalam. Lalu, menurut Darmaningtyas produk yang dihasilkan dari sistem pendidikan ini hanyalah ketaatan dan kepatuhan terhadap ideologi negara tanpa tahu akan hak-haknya yang membentuk orang-orang yang taat, takut, dan sekaligus pengecut, tidak kritis, serta tidak memiliki prinsip sendiri.

Setelah sistem ini begitu lama terbagun, ia bagaikan dibunuh oleh dirinya sendiri. Kurikulum PMP mengalami tindih pada setiap pergantian menteri pendidikan baru dan menemui ajalnya pada akhir era Orde Baru.

Adapun, diakui kebrobrokannya sebelum itu oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan setelah Nugroho Notosusanto, Fuad Hasan. “Terus terang saya katakan, saat ini terjadi tumpang tindih antara P4, PSPB, PMP, dan Sejarah Nasional. Tumpang tindih tersebut akan mengakibatkan hilangnya waktu yang bisa dipakai untuk keperluan lain, atau mendesak mata pelajaran lain,” kata Fuad seperti dikutip Kompas (11/9/1985).

Dengan segala sejarah kelam tentang PMP, sangatlah aneh ketika pada tahun 2019 menteri pendidikan Muhajir Effendi berwacana mengembalikan kurikulum tersebut sebagai mata pelajaran guna mengurangi radikalisme. Karena pastinya menjadi upaya penundukan masyarakat kembali.

Sejarah-sejarah subjektif dari pengalaman pribadi akan PMP pun tertulis jelas dalam lirik alinea ke 3 yaitu “Ada guru Pendidikan Moral Pancasila Dihari Perkawinanmu Diranjang tempat kau bercumbu Ia tidak Senang mendapati Istrimu tak lagi Perawan”. Mungkin yang Ugo maksud “istri” dalam alinea ini adalah ideologi baru dan pemikiran bebasnya dengan metaphor sebagai seorang istri pada saat itu yang akan selalu ditentang apabila tidak berdasarkan ideologi pancasila yang dianut masa itu.

Kematian kurikulum itu pun sudah terekam di dalam alinea keempat lagu tersebut yang berbunyi “Ada Guru Pendidikan Moral Pancasila Terus Menghantui sepanjang Hidupmu Sebab kau tak Peduli Saat dia dulu Mati bunuh diri Setelah hutan menggunung, kalah Judi”.

Dalam alinea tersebut, Ugo seperti meneceritakan bagaimana ia tumbuh dewasa dan tidak lagi mempedulikan PMP karena mempunyai pemikiran sendiri sampai pada jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998. Disimbolkan dalam penggalan “kalah judi” yang merupakan inflasi besar-besaran dan hutang luar negeri rezim Soeharto pada saat itu. Lalu, penggalan “Mati bunuh diri” disini adalah pertanda jatuhnya Soeharto pada masa awal reformasi.

Secara keseluruhan, lagu Normal, Moral mempunyai muatan sejarah dari sudut pandang subjektif. Tetapi, jejaknya sangat rapih dan membuatnya seperti alur waktu dari perjalanan banyak hal yang dilakukan rezim pada saat itu. Dari mulai menceritakan tentang program tentara masuk desa sampai pada penggondogan kurikulum Pancasila. Semua itu menjadi hantu-hantu yang pada masa mereka (Melancholic Bitch) merasakannya tidak terlihat. Tetapi, kini bangkit kembali pada saat mereka dewasa.

 

Penulis merupakan Mahasiswa Semester VIII Pendidikan Bahasa Inggris UIN Bandung

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments