Mon, 16 December 2024

Tren Doom Spending Memicu Kemiskinan

Reporter: SANITA PUTRI/KONTRIBUTOR | Redaktur: ZAHRA DWI AQILAH | Dibaca 98 kali

2 hari yang lalu
(Sumber: Pinterest.com)

JURNALPOSMEDIA.COM – Kemajuan teknologi sangat pesat, membuka mata melihat dunia lebih luas. Namun pandangan ini juga menguras saku para anak muda yang tergiur akan barang-barang unik, “murah”, spesial, promo, apalah kata lainnya. Perkembangan tren bergantian setiap detik, tak ada yang ingin tertinggal dengan tren tersebut.

Membeli satu – persatu barang hingga menumpuk tak karuan. Pencapaian menjadi alasan konkret untuk memanjakan diri dengan berbelanja, merayakan hal-hal kecil untuk diri sendiri seperti kewajiban yang tak boleh terlewatkan. Namun apakah semua ini kebutuhan atau hanya sekedar keinginan yang impulsif?

Fenomena doom spending menjadi kata tepat yang saat ini menjadi tren baru ditengah anak muda.. Pola keuangan tidak terkendali dan pengeluaran yang berlebihan. Hal ini memicu dampak yang cukup serius, seperti terlambat untuk memulai menabung, kesulitan mencapai tujuan keuangan jangka panjang, atau bahkan terjebak dalam utang yang sulit dilunasi.

Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh e-commerce dan pembayaran cicilan merupakan langkah awal terjadinya fenomena ini. Ditambah lagi standar sosial yang diciptakan melalui media sosial menjadi pendorong utama yang sering kali tidak realistis dengan gaya hidup yang seharusnya.

Faktanya tidak sedikit dari mereka mengutamakan keinginan tanpa adanya pertimbangan yang matang. Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi & Perlindungan Konsumen, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), Dr. Friderica Widyasari Dewi atau yang akrab disapa Kiki, menyebutkan generasi milenial dan generasi zilenial merupakan kelompok yang rentan secara finansial dengan gaya hidup yang lebih banyak menghabiskan uang untuk kesenangan dibandingkan menabung maupun berinvestasi.

Kiki menambahkan prinsip You Only Live Once (YOLO) dan Fear Out Of Missing Out (FOMO) yang dipegang kedua generasi ini membawa generasi muda pada keputusan yang buruk, salah satunya tidak menyiapkan dana darurat hingga rela meminjam uang untuk kesenangan sesaat tanpa berpikir jangka panjang.

Lalu segala bentuk perayaan dan menikmati kehidupan dengan hasil upaya diri sendiri adalah suatu kesalahan atau bahkan tidak dapat dilakukan sama sekali menjadi alasan untuk menahan diri dan enggan mengeluarkan uang sepeser pun adalah suatu pembenaran? Tentu tidak, terkadang hal ini akan menjadi bumerang. Menimbun uang ataupun barang yang dimiliki hingga sulit mengeluarkannya sedikit pun akan menjadi toxic. Pola pikir baru, kebiasaan baru akan terbentuk hingga sulit untuk berosisalisasi karena alasan berhemat menjadi masalah baru.

Toxic money adalah kebiasaan buruk dalam mengelola keuangan dan dapat merugikan kesejahteraan finansial. Hal ini disebabkan oleh pola pikir atau keyakinan negatif mengenai keuangan atau disebut juga dengan toxic money mindset. Contohnya terdapat pada perilaku seperti, doom spending (pembelian barang secara impulsif), money hoarding (merasa cemas saat harus mengeluarkan uang), financial enabling (menutupi masalah dengan uang), lifestyle creep (peningkatan pengeluaran seiring dengan peningkatan pemasukan), dan masih banyak lagi.

Prinsip, kebiasaan, dan pola pikir seseorang inilah yang perlu diubah anak muda saat ini, mengatur keuangan sejak dini dan memiliki perencanaan kedepan dapat menjadi solusi utama. Bagaimana setiap pemasukan memiliki pengalokasian dananya masing-masing sesuai dengan kebutuhan. Keuangan yang diatur sedemikian rupa akan mengubah kecemasan tersebut menjadi ketenangan dimasa yang akan datang.

Jadi membeli hadiah untuk diri sendiri, berlibur sejenak, membeli pengalaman baru, merayakan pencapaian dengan orang sekitar bukanlah suatu kesalahan dan tidak dapat dilakukan selama kita mampu menyimpan dana pemasukan tersebut khusus untuk menghargai diri sendiri dan orang yang kita sayangi. Membuat alokasi dana khusus tidak mengganggu kebutuhan prioritas lain merupakan pilihan yang tepat. Karena bukan berarti pembelanjaan secara impulsif dan tidak dikontrol dapat menghilangkan keresahan dan selalu menyenangkan.

Walaupun iya hal tersebut memberi solusi masalah kecemasan diri, mencari kepuasan dan selalu memberi ketenangan dan menyenangkan. Namun, bukan kah hanya disaat itu saja, lalu apa setelahnya? Lingkaran hitam, pengulangan tiada akhir karena setiap orang tentu memiliki masalah baru, ketakutan baru dalam menghadapi kehidupan dinamis setiap waktunya.

Satu – persatu langkah penguraian toxic money mindset dengan menyesuaikan gaya hidup, mengetahui prioritas dan kebutuhan, membuat rencana kedepan, mengontrol seluruh emosi diri serta mengenali pemicu emosional dan meditasi dapat dilakukan. Banyak kegiatan positif untuk pengalihan emosi tanpa perlu mengeluarkan uang berlebih seperti halnya mencari hobi baru, membuka relasi, mengembangkan diri dengan mencari lingkungan positif, dan berbagai aktivitas menyenangkan lainnya.

Kutipan Morgan Housel dalam bukunya yang berjudul The Psychology of Money “The abilility to do what you want, when you want, with who you want, for as you want, is priceless, it is the highest dividend money pays”

Kalimat tersebut membuka pikiran kita tentang kebebasan dan kontrol atas hidup yang dihargai, dengan melakukan apa pun, kapan pun, dengan siapa saja, dan berapa lama meluangkannya, jauh lebih berharga daripada kekayaan secara materi maupun angka.

Kehidupan yang kita miliki sangatlah berharga terutama ketika kita dapat menghargai diri sendiri dengan melakukan hal positif dan mampu mengontrol diri terhadap tren dunia yang berguling begitu cepat. Menutup kerugian doom spending bukan dengan toxic money mindset karena kecemasan berlebih, melainkan menutup kerugian dengan berhati – hati dalam mengambil keputusan dan pengalokasian dana yang tepat.

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments