Tue, 1 April 2025

Pilpres 2019, Angka Golput Menciut?

Reporter: Putri Restia Ariani | Redaktur: Muhammad Fauzan P | Dibaca 654 kali

Mon, 22 April 2019
Ilustrasi penurunan golput (Abdul Latief/ Jurnalposmedia).

JURNALPOSMEDIA.COM–Seperti memaut hati gadis pujaan, menarik atensi masyarakat untuk menyuarakan pilihannya dalam pemilu terbilang sulit. Tahun ini, pemilihan presiden secara langsung terselenggara untuk keempat kalinya. Masih dengan polemik yang sama, golongan putih dianggap sebagai ancaman yang akan merugikan kedua pasangan capres-cawapres, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Dilansir dari berbagai portal berita, sejak pilpres 2004 angka golput terus mengalami kenaikan signifikan. Infografis ancaman golput dalam pilpres 2019 yang dirilis liputan6.com menunjukkan, pada pilpres 2004 putaran II terdapat 150.644.184 atau sekitar 22,56 persen pemilih golput. Pada pilpres 2009 terhitung 176.411.434 atau sekitar 27,91 persen. Pada Pilpres 2014  sebanyak 190.307.134 yakni 30 persen lebih dari jumlah pemilih. Lantas, apakah tahun ini golongan putih kian berani mendeklarasikan diri?

Pilpres 2014 lalu, diikuti dua kandidat yaitu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, dengan angka golput rata-rata mencapai 30 persen secara nasional. Dikutip dari tirto.id, terdapat lima provinsi dengan angka golput tinggi pada pilpres 2014. Lima provinsisi tersebut yaitu Kepulauan Riau (40,57 persen), Aceh (38,61 persen), Riau (37,27 persen), Sumatera Utara (37,25 persen), dan Sumatera Barat (36,26 persen). Sementara itu, partisipasi pemilih tertinggi dalam pilpres 2014 oleh provinsi Papua (13,4 persen) dan Yogyakarta (20 persen).

Ada beberapa hal yang turut andil pada pasangnya gelombang golput. Pertama, tidak meratanya pembangunan infrastruktur di Indonesia. Seperti yang kita ketahui, pembangunan infrastruktur berpusat di pulau Jawa, sedangkan daerah lainnya minim pembangunan infrastruktur. Kedua, kurangnya sosialisasi pemungutan suara.

Ketiga, rasa tidak percaya pada kandidat, terlebih mengenai penyelesaian HAM dan sentimen SARA. Keempat, pemikiran siapapun yang terpilih takkan merubah apapun, sehingga golput bukan lagi persoal beda ideologi dan kendala teknis, tetapi bentuk sikap apatis.

Para peserta, penyelenggara, hingga pengawas pemilu selalu berupaya Mengimbau agar pemilih menggunakan hak suaranya. Melegakan saat beberapa daerah di Indonesia tingkat partisipasi masyarakatnya mengalami peningkatan. Kabar baik disampaikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat, Rifqy Ali Mubarok. Ia mengungkap bahwa golput di wilayahnya kemungkinan menciut menjadi 25 persen, KPUD Jabar sendiri menargetkan partisipasi pemilih pada pilpres 2019 mencapai 77 persen.

Sejumlah pengamat dan elit politik turut memprediksi partisipasi pemilih akan melonjak tajam pada pemilu serentak 2019. Melalui wawancaranya dengan sindonews, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengungkapkan tingkat pasrtisipasi masyarakatnya rata-rata di atas 70-80 persen. Hal tersebut bisa dikatakan mencapai atau bahkan melampaui targetan awal yaitu 77,5 persen. Begitu pula dengan Wakil Gubernur Banten, Andika Hazrumy yang mengatakan bahwa partisipasi pemilih di provinsinya mencapai rata-rata 80-85 persen.

Menelisik lebih jauh, partisipasi masyarakat di kampung Cibeureum Paledrom, Pangalengan, Jawa Barat turut memberikan sumbangsih dalam pengurangan angka golput dalam pemilu 2019. Ketua TPU Kampung Cibeureum Paledrom, Tamrin mengungkapkan angka golput masyarakatnya menurun dibandingkan 5 tahun lalu.

“Pada pilpres 2014 lalu, presentasi golput mencapai 6,9 persen, di tahun ini presentasinya berkurang menjadi 4,5 persen,” ujarnya.

Anggota MPR dari Fraksi Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria memprediksi angka golput di pemilu 2019 tidak akan meningkat dibandingkan pemilu 2014.

“Saya kira masyarakat semakin peduli pada demokrasi. Karena itu, saya menduga golput tidak akan besar. Malah bisa turun karena pileg dan pilpres dilakukan secara serentak,” ujarnya dalam acara diskusi Empat Pilar DPR, Februari lalu.

Mengutip katadata.co.id, dengan targetan partisipasi pemilu sebanyak 77,5 persen. Artinya, akan ada sekitar 22,5 persen peserta yang tercatat di daftar pemilu 2019 tidak menggunakan hak pilihnya (golput).

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Mochammad Afifudin menyatakan golput adalah persoal pilihan setiap pemegang suara dan mendapat jaminan undang-undang. Melalui wawancaranya dengan tirto.id 8 bulan lalu, Afif manyarankan pemilih untuk tetap menggunakan hak suaranya.

“Semakin banyak masyarakat pemilih, akan semakin baik legitimasi pemilu kita,” katanya.

Peningkatan partisipasi pemilih bergantung pada kerjasama yang baik para pemangku kepentingan pemilu. Sementara atensi pemilih dipengaruhi oleh program dan visi-misi yang atraktif serta spesifik dari kedua kandidat.

Layaknya peribahasa Sekali Lancung Ke Ujian, Seumur Hidup Orang Tak Percaya, seperti itu pula hati masyarakat. Sekali mendapat ketidakpercayaan, ketidakpuasan, dan kekecewaan terhadap kedua kandidat, penolakan bisa jadi pilihan. Motivasi masyarakat untuk golput hendaknya menjadi bahan renungan pemerintah. Apakah tindakan ini sebagai bentuk penolakan terhadap kandidat atau sistem pemerintahan secara universal?.

Bagikan :
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Terlama
Terbaru Suara Banyak
Inline Feedbacks
View all comments