JURNALPOSMEDIA.COM— Gonjang-ganjing mengenai aliran penganggaran dan pengadaan proyek Kartu Tanda Penduduk – elektronik (e-KTP) yang mulai mencuat ke publik sejak sepekan menimbulkan banyak tanda tanya. Berdasakan berkas yang dibawa oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan pada Maret 2017 ini, secara gamblang media membeberkan berapa ‘jatah’ para pemain didalamnya, perkara tersebut semakin jelas menyeruak ke permukaan publik.
Menyikapi persoalan tersebut alangkah terlihat betapa bobroknya sistemasi dalam tataran program yang belum terealisasikan. Tak hanya mengenai e-KTP saja, sebelumnya persoalan yang banyak merugikan pihak terkait khususnya masyarakat juga tak membuat mereka yang diduga ‘oknum’ jera seperti contoh proyek Hambalang yang cukup panjang. Nominal yang tak kecil mengalir begitu saja, terbuang bukan sebagaimana mestinya. Bermula dari usulan salah seorang ‘oknum’ untuk mengubah sumber pembiayaan pengadaan e-KTP dari pinjaman hibah luar negeri menjadi dari APBN.
September 2016 peraturan tentang masa aktif KTP biasa sudah tidak berlaku dan harus segera beralih menjadi e-KTP pun terdengar ke seluruh penjuru negeri. Sayangnya hingga saat ini masyarakat masih belum menerima e-KTP tersebut, dengan alasan blangko masih kosong. Sontak masyarakat yang memerlukan untuk beragam kebutuhan harus bersabar menggunakan surat KTP sementara yang dikeluarkan oleh kecamatan masing-masing itupun hanya berlaku enam bulan.
Menanti kejelasan dari program pemerintah yang dijanjikan dianggap hanya gertakan semata, seluruh masyarakat antri berbondong-bondong memenuhi kantor kecamatan pun tak menuai kejelasan. Masyarakat pun nampaknya sudah lelah menagih janji, namun apa mau dikata nasi sudah menjadi bubur, kini satu persatu muncul nama-nama yang turut serta diduga menikmati proyek yang seharusnya sudah terealisasi sejak 2016 lalu.
Pembuatan e-KTP sendiri tahun lalu dinilai cukup lama dalam mengimplementasikan, baik dalam persoalan teknis hingga non-teknis. Kerap teknologi yang digunakan untuk merekam data mengalami gangguan dan data kependudukan yang tidak mutakhir, dan kini proyek tersebut pun bermasalah akibat kasus dugaan korupsi yang mulai ditelusuri sejak April 2014.
Seperti yang dilansir dari Harian Kompas pada edisi 10 Maret kemarin, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sudah memastikan ada lebih dari dua nama yang terlibat banyak dalam kejahatan yang nyaris sempurna tersebut. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengataan pengusutan perkara tersebut melibatkan hampir 70 nama, sejak proyek tersebut dalam perencanaan sudah terjadi tindak kecurangan yang melibatkan anggota legislatif, eksekutif, hingga badan usaha milik negara dan swasta.
Tak tanggung-tanggung 2,3 triliun yang sudah mengalir entah kemana, menimbulkan dampak yang juga dirasakan oleh masyarakat. Jika diibaratkan, angka demikian setara dengan 1,43 juta ton beras sejahtera atau beras raskin, pun setara dengan iuran setahun 7.516.340 peserta BPJS Kesehatan bukan pekerja untuk pelayanan di ruang perawatan kelas III. Andai kata dana tersebut bisa dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat, pastilah akan lebih berdampak positif.
Mega korupsi kali ini, akan berbuntut panjang dan memakan waktu bagi mereka yang diduga menikmati atau sekadar cuci tangan saja. Perkara ini semakin ramai diperbincangkan pasca penetapan tersangka beberapa nama oleh pengadilan. Entah apa yang akan membuat para pejabat berhenti membuat ‘atm pribadi’ dengan menggunakan dana yang diperuntukan masyarakat.
Ketika negara tengah membutuhkan beragam kebutuhan untuk pembangunan dan pemberdayaan ironinya justru mereka yang memiliki kebijakan yang malah menghambat. Berkaca pada persoalan ini, para ‘oknum’ seharusnya malu, bukan malah dengan santai melenggakkan kepala memberi lambaian pada media. Negara sudah seharusnya bersih dari jerat dalang-dalang korupsi secara bertahaelp, meski kenyataannya saat ini hukum Indonesia kerap kali tumpul ke atas.