JURNALPOSMEDIA.COM – Bagai tak ada aral melintang, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama pemerintah bersikukuh untuk mengebut pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja hingga menjadi Undang-Undang (UU) pada Senin (5/10/2020).
Meski marak jegalan dan penolakan di sana-sini, pemerintah tampaknya tak menggubris suara masyarakat. Penolakan terhadap UU Cipta Kerja pun mulai digaungkan secara masif di media sosial maupun aksi secara langsung. Hal itu terjadi lantaran substansi Omnibus Law Cipta Kerja dinilai merugikan, terutama dalam segi perburuhan.
Persoalan ini pun membawa kilas balik tanggapan dari sejumlah tokoh yang sempat diwawancarai Jurnalposmedia mengenai pandangannya terhadap RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang kini telah berubah wujud menjadi UU Cipta Kerja.
Aroma Kepentingan Oligarki
Pada Sabtu (16/5/2020) lalu, Jurnalposmedia mewawancarai Sekretaris Jenderal Dewan Pengupahan Kota, Konfederasi Serikat Nasional (DPK KSN) Kota Bandung, Muhammad Nazar. Ia mengaku kecewa dan menilai RUU Cilaka tidak memiliki dampak positif terhadap buruh.
“Kita tidak bisa melihat RUU Cilaka ini hanya bagian per bagian. Kita harus melihat secara keseluruhan dan menyadari fakta bahwa RUU ini tidak memiliki dampak positif terhadap rakyat (buruh) Indonesia,” ungkapnya melalui WhatsApp.
Pria yang akrab disapa Nazar itu juga kecewa atas sikap pemerintah yang terburu-buru mempercepat pembahasan Omnibus Law pada April lalu. Padahal menurutnya, masih ada hal lain yang lebih penting.
Yakni, bantuan subsidi dari pemerintah untuk membantu rakyat yang terdampak pandemi Covid-19. Pihaknya juga merasa ada maksud dan kepentingan lain dibalik semua itu, “Ini semakin menunjukan bahwa pemerintah lebih mementingkan kepentingan oligarki dan mengesampingkan kepentingan rakyat,” lanjutnya.
Pandangan serupa juga datang dari mahasiswa sekaligus Sekjen Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB), M Faqih Zalfitri Razak. Menurutnya, RUU Cilaka (kini UU Cipta Kerja) itu dirancang hanya untuk kepentingan beberapa pihak saja.
Terutama dalam RUU tersebut, menurut Faqih tidak menawarkan suatu pilihan melainkan dalih untuk menaikan kepentingan ekonomi beberapa pihak saja. Ia menilai pemerintah perlu mengakomodir kebijakan itu dan harus meninjau seperti apa kondisi ekonomi-sosial di Indonesia
“Apalagi dengan keadaan seperti ini (pandemi), pembahasan itu (Omnibus Law) seharusnya tidak diagendakan. Pemerintah lebih baik membahas pandemi ini baiknya seperti apa,” tuturnya, Senin (11/5/20) lalu.
RUU Cipta Kerja Bersifat Sentralistik
Keresahan yang sama turut dirasakan salah seorang asisten pembela umum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Heri Purnomo. Dirinya mengatakan jika dalam draf penyusunan UU Cipta Kerja saat masih menjadi RUU itu dirasa bermasalah. Salah satunya, tidak adanya partisipasi publik.
“Dampak dari RUU Cipta Kerja sendiri akan membuka keran investasi. Sehingga akan ada pembangunan, infrastruktur yang bersifat sentralistik, semua ada dalam kendali pemerintah,” ujarnya melalui sambungan telepon,” Jumat (14/8/20).
Lebih lanjut, saat itu ia juga berkomentar jika RUU Cipta Kerja akan membuka peluang seluas-luasnya untuk negara bisa korupsi. Beberapa pasal dinilainya justru merujuk kepada tindakan investasi seluas-luasanya dengan mengabaikan banyak hal.
Bahkan menurutnya, pemerintah pun menutup mata terhadap investasi yang mengeksploitasi sumber daya alam. Hingga, lebih jauh RUU Cilaka ini betul-betul mampu mencelakakan buruh dengan kemungkinan PHK yang akan semakin merajalela.
Perburuhan akan diperburuk dengan adanya beberapa pasal. Seperti halnya upah yang tidak lagi ditentukan oleh UMR sehingga perusahaan bisa bebas berbuat semaunya. Heri mengatakan, Tim Advokasi untuk Demokrasi menilai adanya pelanggaran prosedur dan substansi dari penyusunan RUU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah saat itu.
“Secara prosedur pemerintah tidak terbuka serta tak melibatkan masyarakat saat menyusun draf RUU Cipta Kerja tersebut. LBH se-Indonesia berikut lainnya, kita sama-sama berupaya (di) semua sektor. Baik itu perburuhan, lingkungan, lahan, semua menolak RUU tersebut disahkan,” katanya.
Pihaknya juga mengatakan jika LBH selalu memprioritaskan apa yang masyarakat butuhkan seperti pengesahan mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang justru malah dibatalkan.
Padahal, ia mengaku jika itu sangatlah penting. Dirinya juga mewanti-wanti jika nantinya RUU itu disahkan dampaknya akan sangat terasa karena Omnibus Law mencakup multi sektoral.
Dinilai Positif dengan Catatan Khusus
Bertolak belakang dengan narasumber sebelumnya, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Bandung, Dudang Gojali melihat Omnibus Law dari kacamata yang berbeda. Menurutnya, Omnibus Law adalah sesuatu yang positif untuk membangun semangat ekonomi. Namun, perlu dikoreksi agar semua pihak terlindungi.
“Kalau bicara semangat, kita harus mengerti kepentingan dan pertarungannya. Hari ini problem ekonomi kita itu masih dikuasai oleh segelintir orang (naga sembilan). Dengan UU ini mencoba dijembatani jaraknya,” katanya saat dihubungi pada Sabtu (30/5/20).
Ia menjelaskan maksud dari “dijembatani”, yakni semisal tentang semangat menghidupkan koperasi dan UMKM. Mulai dari surat izin yang tidak berbelit, permodalan yang dikerjasamakan, serta pangsa pasar yang diperluas.
Ketika disinggung mengenai RUU yang dinilai berpihak kepada salah satu kelompok, saat itu dirinya berpendapat belum dapat dipastikan siapa yang dirugikan dalam hal tersebut. Dilihat dari efisiensinya, ia menilai semangat omnibus ini juga merupakan semangat menumbuhkan ekonomi.
Yakni dari kalangan bawah ke tengah dan tengah ke atas. Hal tersebut dinilainya penting melihat masa lalu komposisi ekonomi Indonesia yang berjarak terlampau jauh. Ia pun memberikan tanggapannya perihal poin-poin RUU yang dinilai kontroversi.
Dudang menyebutkan harus ada perubahan yang dapat meminimalisir hal tersebut. Salah satunya mengenai hak-hak berdaya kaum buruh.
“Kaidah itu jika tidak bisa semuanya maka sebagian saja yang menjalankan. Perjuangan kaum buruh yang anti Omnibus Law ini tidak ke arah generalisasi. Maka pemerintah harus menekan ke arah kesejahteraan yang masif agar pemerintah dipastikan berdaulat dalam mengelola perekonomian,” tutupnya.
Kru Liput: Ibaddilah Nurodin Fauzan, Indah Elanta, Rahmat Wahidin