Kurun waktu mei hingga juni adalah bulan-bulan yang sangat menegangkan bagi siswa yang duduk di kelas terakhir pada jenjangnya. Siswa kelas 6, 9 dan 12 berikut orang tuanya turut merasakan gaduh dalam hatinya karena akan timbul pertanyaan, “Siswa ini mau melanjutkan kemana?”
Teringat beberapa tahun yang lalu ketika 2010 saya lulus SD dan hendak melanjutkan ke sebuah SMP di kampung saya daerah Ciparay, Kabupaten Bandung. Masuk sekolah negeri adalah impian hampir seluruh anak disini. Sederhana, karena sekolah negeri dianggap sebagai “Sekolah Favorit” dan cenderung memiliki prospek yang lebih jelas. Semua berlomba untuk mendapat nilai bagus di Ujian Nasional, karena itulah satu-satunya jalan untuk diterima di sekolah negeri. Bahkan nilai beda koma saja dengan batas minimum yang ditetapkan sekolah negeri berpotensi untuk tidak lolos. Alhamdulillah, nilai saya waktu itu memenuhi untuk sekolah di salah satu SMP negeri kendati nilainya tidak terlalu besar.
Beranjak ke jenjang selanjutnya, saya masuk SMK pun mengandalkan Nilai Ujian Nasional. Walaupun saat itu nilai tersebut bukan satu-satunya tolak ukur diterima atau tidak—karena basic sekolah saya seni rupa, di awal ada tes menggambar manual yang akan menjadi salah satu faktor penentu kelulusan—namun hasil Ujian Nasional akan menentukan kita diterima di pilihan jurusan ke berapa. Tentu sebagai orang yang selalu berusaha fight hingga akhir saya menginginkan untuk diterima di pilihan pertama. Lagi, saya mendapatkan apa yang saya harapkan.
Beberapa hari terakhir saya cukup up to date dengan berita-berita hangat di tanah air. Salah satunya berita tentang Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) yang menimbulkan polemik di kalangan orang tua siswa yang tahun ini akan mendaftarkan anaknya. Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun ini gencar mensosialisasikan program penerimaan melalui sistem zonasi. Sistem ini memungkinkan siswa diterima di sekolah yang jarak radius rumah dan sekolahnya berdekatan.
Sesungguhnya ini bukan sistem baru, gagasan dan implementasi pertamanya bahkan telah ada sejak 2017. Tujuannya mulia, ingin ada pemerataan pendidikan. Di samping itu, Mendikbud, Muhadjir Effendy ingin kesan “Sekolah Favorit” dihilangkan. Semua sekolah akan dianggap sama dari sisi kualitas.
Sistem zonasi sangat bagus karena nantinya anak-anak yang terkesan hebat tidak akan menumpuk di satu sekolah. Namun kita tidak bisa menutup mata, kita belum siap dengan sistem ini. Sistem zonasi masih sangat prematur untuk diterapkan di Indonesia. Elemen penunjang pendidikan kita belum menyentuh ke seluruh sekolah dari Sabang sampai Merauke. Kualitas tenaga pengajar, sarana dan prasarana, hingga lokasi sekolah masih menjadi masalah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kita ambil contoh, sekolah negeri yang sudah dicap bagus di Kota Bandung akan memiliki fasilitas yang lengkap dengan lokasinya yang strategis dibandingkan sekolah yang hadir di pinggiran. Jika saya tarik ke belakang, dulu satu-satunya motivasi saya ingin bersekolah di Kota Bandung adalah ingin mendapatkan pendidikan yang lebih layak dengan ditunjang fasilitas yang lebih memadai untuk pengembangan potensi saya. Inilah mengapa saya rela tiga tahun pulang-pergi lintas kota demi meraih pendidikan yang lebih baik. Karena saat itu saya merasa sekolah-sekolah di sekitaran rumah belum mampu memenuhi hasrat belajar saya yang tinggi. Apakah ini salah? Tentu tidak, bukankah setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan terbaik dari pemerintah?
Kemarin, saya iseng buka diskusi di Instagram dan Whatsapp membahas tanggapan orang mengenai sistem zonasi. Beberapa mengeluhkan karena anak tidak lagi memiliki motivasi untuk belajar UN karena sudah bukan lagi penentu kelulusan. Yang menarik dari pembahasan ini, ada salah satu teman dari Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang turut menyesalkan sistem zonasi. Pasalnya tahun ini ia duduk di bangku kelas 9 dan tahun depan akan bersiap untuk masuk SMA. Ia khawatir jika sistem ini akan berlanjut hingga tahun depan dan tidak akan kebagian jatah masuk sekolah negeri.
Hal tersebut karena di kecamatannya hanya ada satu SMA dan SMP negeri. Bayangkan di tahun yang sama, banyak anak seusianya yang akan melanjutkan pendidikan namun harus mengalah hanya karena soal jarak. Ditambah menurut penuturannya ada satu daerah masih di Kabupaten Langkat yang hanya memiliki satu Sekolah Dasar. Untuk pergi ke SMP dan SMA negeri terdekat mereka harus menempuh perjalanan jauh berkilo-kilo meter. Tentu, dengan sistem zonasi peluang mereka seolah pupus untuk melanjutkan pendidikan yang lebih baik.
Belum lagi masalah lain yang mungkin muncul dampak dari sistem zonasi ini. Salah satunya adalah kemungkinan terjadi kecurangan melalui pemalsuan dokumen domisili. Beberapa orang tua di Sidoarjo, Jawa Timur mengeluhkan karena anaknya tidak diterima di salah satu sekolah negeri padahal jarak rumahnya hanya sekitar satu kilometer. Ternyata setelah dicek, siswa yang diterima rata-rata jarak antara sekolah ke rumah kurang dari satu kilometer. Logikanya, mungkinkah dengan radius kurang dari satu kilometer ada lebih dari 200 anak dengan usia yang sama akan menempuh jenjang sekolah yang sama? Ini perlu jadi perhatian, tidak hanya bagi Kemendikbud, namun juga pejabat terkait dalam hal ini Pemda dan Disdukcapil.
Kekecewaan saya juga memuncak tatkala mendengar statement dari salah seorang Staf Ahli Kemendikbud, Chatarina Muliana Girsang yang berbicara di salah satu stasiun televisi mengatakan bahwa masalah-masalah diatas bukan semata kesalahan dari pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah yang tidak benar menjalankan mandat dari pusat. Chatarina menilai bahwa pusat sudah memberikan arahan dan pedoman yang benar mengenai pelaksanaan sistem zonasi ini, namun kemudian daerah gagap dalam memahami intruksi pusat sehingga masalah muncul dimana-mana. Pernyataan ini juga diaminkan Mendikbud Muhadjir Effendy yang seolah memunculkan kesan Pemerintah Pusat tutup telinga akan keluhan yang ada. Pusat seakan cuci tangan dengan semua ini, namun daerah pun sudah pasti enggan disalahkan dengan dalih “Ikut Arahan Bos.”
Memang tidak adil jika kita memukul rata kualitas seorang anak didasarkan pada nilai UN, karena mata pelajaran yang di UN-kan juga terbatas. Bisa saja ia lebih ahli dalam bidang olahraga, agama, IT, dan lain-lain. Namun bagi saya penyelenggaraan UN jadi terkesan useless, karena tidak adil pula untuk anak yang sudah belajar mati-matian untuk UN, ternyata tidak berhasil masuk negeri. Kalau begini, agaknya pemerintah harus duduk bersama merumuskan sistem penyelenggaraan penerimaan yang lebih objektif sesuai bakat si anak.
Dan lagi memang tolak ukur kesuksesan seseorang tidak selalu berdasar kepada dia sekolah dimana. Di kita banyak sekolah swasta yang bahkan secara kualitas tidak kalah dari sekolah negeri, mungkin bisa lebih baik. Tetapi sekolah di negeri bak menjadi batu loncatan agar siswa memiliki pemikiran yang terbuka dan cerdas di masing-masing bidangnya. Biaya yang relatif terjangkau juga menjadi pertimbangan kenapa orang tua ngotot ingin anaknya sekolah di negeri (terlebih yang bagus). Banyak sekolah swasta yang menawarkan fasilitas sekelas internasional, namun kita harus merogoh kocek lebih dalam. Dengan bersekolah di negeri, setidaknya anak mendapat pendidikan yang baik dengan biaya ringan.
Terlepas dari semua permasalah di atas, kita patut apresiasi usaha Pemerintah Pusat dalam hal pemerataan pendidikan. Namun seyogyanya pemerintah harus responsif akan setiap kritik yang ada demi pembangunan yang lebih baik. Isu pendidikan di kita memang tidak pernah habis, bahkan hal-hal teknis seperti ini saja bisa menimbulkan kegaduhan. Ini bukan semata tugas pemerintah, namun juga kita sebagai civil society harus berusaha menemukan solusi kreatif atas setiap permasalahan pendidikan di Indonesia. (ibadnf)