Wed, 1 May 2024

Pendidikan Era 4.0: Kolonialisme Tak Kasat Mata

Reporter: Fadhilah Rama/Kontributor | Redaktur: Intan Riskina Ichsan | Dibaca 408 kali

Sat, 9 January 2021
Ilustrasi: beritagar.id

JURNALPOSMEDIA.COM – Pendidikan menjadi sebuah hal yang penting bagi kemajuan suatu bangsa, dengan memberikan layanan pendidikan yang prima kepada para rakyatnya. Harapannya adalah tingkat kualitas Sumber Daya Manusia semakin meningkat baik itu di sektor ekonomi, sosial, maupun politik.

Kemajuan di sektor-sektor formal dan informal seperti ini akan mendongkrak status quo dari masyarakat di negara tersebut. Menjadi lebih makmur dan bisa bersaing dengan negara lain di kancah internasional. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pun baru-baru ini mendeklarasikan bahwa pendidikan haruslah berorientasi kepada dunia kerja. Dilansir dari mediaindonesia.com, Mendikbud, Nadiem Makarim bahkan akan menutup program studi di perguruan tinggi yang serapan tenaga kerjanya kecil.

Jelas hal ini adalah sebuah degradasi dimana setelah 70 tahun merdeka. Pendidikan Indonesia saat ini tidak jauh berbeda dengan saat pertama kali memproklamaskan kemerdekaannya. 

Dari Athena sampai Cirebon

Jauh sebelum penjajah datang ke Nusantara, di Indonesia sendiri belum terdapat pendidikan secara formal. Tidak ada kurikulum, tidak ada standarisasi kepandaian manusia lewat nilai-nilai yang diakumulatifkan. Nenek moyang kita juga tidak mengenal ijazah.

Tapi satu hal yang paling penting adalah mereka tetap belajar. Belajar tentang segala soal, bertani, berladang. Semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah. 

Ivan Illich yang disebut sebagai seorang humanis radikal pernah menuturkan bahwa sekolah telah bergeser nilai-nilai mulianya tatkala dijadikan sebagai ruang komoditi. Ia menyoroti legitimasi dari sekolah-sekolah yang menjanjikan kesuksesan untuk para peserta didiknya.

Illich mendobrak kesadaran masyarakat untuk segera melakukan revolusi budaya. Yakni dengan menguji mitos-mitos yang ada dalam lembaga sosial secara radikal yang selama ini telah mapan dalam pandangan masyarakat.

Ia mencoba melepaskan masyarakat dari belenggu sekolah. Paling tidak bisa membuat masyarakat sadar, bahwa ilmu tidak hanya dapat diperoleh dari sekolah.

Dalam karyanya Deschooling Society (Masyarakat tanpa Sekolah), ia  meyakini tujuan sekolah secara ontologis telah jauh dari harapan. Ia dengan keras mengkritik para ahli dan profesor, mereka lebih banyak menyumbang kerusakan akan ekosistem peradaban daripada memberikan manfaat.

Sebagai contoh, mereka menganalisa situasi politik sekaligus mengambil keuntungan dari situasi tersebut, lalu mereka menentukan mana yang valid dan tidak.

Di Indonesia-pun kita telah diajarkan ketika duduk di Sekolah Dasar bahwa Bapak Pendidikan Nasional kita adalah Ki Hajar Dewantara. Dari segi historical approach, jauh sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, Daendels 1 abad sebelumnya telah mendirikan Sekolah Ronggeng di Cirebon.

Pada dasarnya Sekolah Ronggeng adalah sekolah pertama di Nusantara yang memadukan sistem pendidikan Barat dan sistem pendidikan Timur, dimana siswa dididik baca-tulis huruf alphabet.

Daendels juga mendirikan Sekolah Bidan pada tahun 1911 di Batavia. Bisa dikatakan ini langkah awal sekolah kedokteran sebelum memasuki masa-masa mendatang yang lebih akademis. Daendels memberikan akses layanan pendidikan kepada rakyat Indonesia yang tak dapat membaca aksara juga tidak dapat mengenali lingkungannya. 

Melihat sepak terjang Daendels dan sumbangsihnya terhadap pangkal pendidikan di Indonesia, apakah Daendels berupaya untuk mencerdaskan Indonesia sebagai bangsa jajahannya? Oh tentu saja tidak.

Jelas Daendels memiliki tujuannya sendiri, yaitu untuk membantu proses jual-beli barang jajahan guna melanggengkan kekuasannya. Di sini, pendidikan disetir  untuk menuju kepentingan para elite, utamanya menjadi program pendorong keberhasilan negara.

Negara dalam persoalan Daendels, yaitu: kejayaan, kolonialisme dan monopoli perdagangan Hindia-Belanda.

Karl Marx, tokoh besar bagi penganut marxisme dalam Communist Manifesto. Kelas penguasa dan pemilik kapital mengontrol kelas pekerja tidak hanya melalui kekuatan langsung yang konfrontatif, tetapi juga melalui pembentukan ide-ide.

“Di dalam segala perjuangan ini borjuasi merasa terpaksa berseru kepada proletariat, meminta bantuannya, dan dengan begitu menarik proletariat ke dalam gelanggang politik. 

Oleh karena itu, borjuasi itu sendiri membekali proletariat dengan elemen-elemennya sendiri dalam pendidikan umum dan politik, dengan perkataan lain, ia melengkapi proletariat itu dengan senjata-senjata untuk melawan borjuasi.” 

Menjawab Tantangan Pendidikan

Berbicara mengenai pendidikan dan sekolah, saya langsung teringat perkataan dari John Dewey, “Sebagaimana dalam agama, demikian juga dalam pendidikan: Mendapatkan seluruh pengetahuan tapi kehilangan jati dirinya adalah sesuatu yang memalukan”.

Disini bisa tarik kesimpulan dari perkataannya bahwa akhir yang inklusif daripada pendidikan lebih dari sekedar pengetahuan. 

Pendidikan menjadi langkah intelektual untuk bisa mencetak generasi-generasi yang kritis tidak hanya tunduk kepada keinginan dan kehendak pasar, namun secara kontekstual memahami esensi dirinya menjadi seorang manusia.

Pauolo Freire, seorang teoritikus pendidikan asal Brazil mengemukakan gagasannya tentang pendidikan, dimana sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diibaratkan sebagai sebuah “bank”.

Dalam sistem ini, anak didik adalah objek investasi dan sumber deposito peotensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditas ekonomis lainnya. Sistem ini memposisikan guru sebagai investor dan murid sebagai kreditor.

Salah satu kritik terhadap pendidikan modern saat ini yang sangat relevan adalah bahwa pendidikan tidak boleh menjajikan emansipasi (kebebasan dan kesetaraan). Kritik dari seorang Filsuf pendidikan, Jacques Rancière. Pendidikan itu seharusnya bermula dari emansipasi.

Ia juga menyatakan bahwa guru yang paling baik adalah guru yang tidak tahu apa-apa karena dengan itu tidak ada proses transfer ilmu dari guru ke murid yang tidak tahu (karena murid sudah teremansipasi). Rancière menyebut sistem ini sebagai Pendidikan Universal Alamiah. (Rancière, 1987).

Sudah sepatutnya kita kembali melihat pendidikan semata-mata bukan hanya melalui sekolah. Dengan mengembalikan marwah pendidikan sebagai sebuah wadah untuk mengasah pola berpikir manusia demi menjadikannya menusia seutuhnya.

Lebih dari sekedar mesin yang diprogram untuk bekerja, dan demi menembus mitos paradigmatik masa kini tentang jutaan anak yang akan menyongsong masa depannya.

Penulis merupakan mahasiswa aktif jurusan Teknik Elektro di UIN Bandung

Bagikan :
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments