Aku telah bertaubat
Jamal merasakan hasrat menggebu-gebu sejak dua puluh empat jam terakhir dalam hidupnya. Takdir baru terbentang di hadapannya. Di usianya yang kini mendekati kepala tiga, takkan ada lagi nafas alkohol yang memabukkan, takkan ada lagi jarum suntik yang melenakan, takkan ada lagi pil-pil yang menyebabkan ketergantungan.
Takkan ada lagi, karena aku telah bertaubat
Terdengar suara batuk dari kamar. Wanita renta itu mengerang akibat batuk kering yang dirasakannya.
“Bunda sakit?”
“Ga apa-apa. Bunda masuk angin aja sepertinya. Kemarin ‘kan habis dari rumah pamanmu di ujung gang.”
“Jamal ‘kan sudah bilang, bunda istirahat aja ya, lagi pula kepala bunda demam.”
“Iya, nak. Tolong buatkan bunda teh hangat ya. Dan jangan lupa pesan bunda.”
Jamal mengiyakan. Ia berusaha menyembunyikan raut muka gelisahnya. Setelah berpaling dari wajah ibundanya, tak pelak ia memikirkan bagaimana cara mewujudkannya.
Aku ingin ke sana
Berita di TV seminggu yang lalu begitu mengejutkannya. Masa darurat pun diperpanjang empat belas hari lagi. Kala itu jumlah kasus meningkat secara signifikan dalam sebulan terakhir, begitu pula selama tujuh hari belakangan ini. Aktivitas kesehariannya tidak sebebas dulu. Lorong-lorong mulai sepi dari pejalan kaki. Kerumunan mulai berkurang.
Nak, jangan lupa pesan bunda ya
Suara itu menggema lagi tak henti-hentinya. Kegelisahan Jamal semakin menjadi-jadi saat makanan yang dibawanya untuk sang ibunda justru diserahkan kembali kepada dirinya dengan dalih merasa baik-baik saja, padahal kesehatan sang ibunda rentan memburuk dalam lima tahun terakhir. Ya, makanan berisi buah-buahan tersebut dibelinya dari toko H. Samadi yang kini sudah tidak menerima transaksi non tunai.
Iya, aku akan ke sana
Jamal meneguhkan diri untuk segera menunaikan pesan sang ibunda. Ia bertanya-tanya apakah cukup waktu satu minggu ke depan yang dimilikinya. Apakah cukup waktu tersebut bagi sang ibunda? Ia menggeleng pelan.
“Nak, sudah? Bunda mau lihat.”
Berkali-kali ia terpaksa beralibi lupa membawa telepon pintarnya. Kalimat selanjutnya dari sang ibunda adalah “jangan lupa ya”. Entah berapa lama lagi ia bisa menahan sang ibunda, juga menahan air mata dan kepiluannya.
Aku memang ingin ke sana, Bunda
Namun ia kebingungan. Ia tidak mengetahui apakah penjagaan ketat dan pembubaran paksa oleh kepolisian yang ia lihat di TV juga terjadi di gang sebelah? Segala jenis kerumunan dibubarkan, apakah termasuk di sana? Rasa nekad terbesit dalam hatinya. Ia ingin melakukannya. Aku harus.
Jamal lalu mempersiapkan segalanya. Ia menuliskan rencananya pada selembar kertas yang ditempel di atas meja di samping tempat tidurnya. Seandainya terjadi sesuatu padanya, setidaknya ada bukti otentik tulisan dirinya yang dapat menyangkal apapun tuduhan yang akan mengarah padanya.
Waktu sudah hampir mendekati pukul 3 sore saat ia dengan mantap telah selesai bersiap-siap.
Aku akan ke sana
Ia membuka pintu rumahnya. Setelan terbaiknya terkena hembusan hawa sore.
“Sebentar lagi, Nak, jangan lupa ya”
Iya, Bu. Aku tidak lupa.
Tanpa basa-basi, ia ucapkan salam lalu bergegas keluar dari rumah. Ia ambil jalan memutar supaya lebih cepat sampai dalam tempo kurang dari tiga puluh menit. Sesekali ia melirik pandangan orang-orang di sekitarnya. Masing-masing di antara mereka melihat dari depan rumahnya. Sekilas Jamal melihat pandangan terkejut dan panik. Ia hanya menundukkan pandangan.
Tenanglah, hanya sebentar
Lima ratus meter di depan, ia melihat sekumpulan orang berpakaian gelap menghadang jalannya. Sedang apa mereka di sana? Dengan tetap menunduk, Jamal abai dengan tetap melanjutkan langkahnya. Toh baginya ini tak akan lama. Ucapan sang ibunda terus terngiang dalam ingatannya. Kata-katanya menguatkan Jamal untuk tak menyerah begitu saja. Ia membayangkan sebentar lagi akan memulai takdir barunya dengan langkah konkret yang sebenar-benarnya.
“Berhenti di sana!” ujar sang petugas kepolisian.
Jamal tetap berjalan mendekat meskipun terdengar suara tersebut dari jarak seratus meter di hadapannya.
“Hey, berhenti!”
Suara tersebut menyeruak lebih keras lagi disertai hentakan.
Jamal terkejut saat revolver yang ada di pinggang sang petugas berpindah ke lengan tangannya. Jamal menghentikan langkah. Benda itu diarahkan padanya dengan kesigapan yang sudah terlatih.
Izinkan aku lewat
“Mau kemana?”
“Saya hanya ingin ke masjid.”
“Sedang disterilkan selama empat belas hari. Minggu depan saja.”
Jamal melangkahkan kaki kembali namun terhenti oleh telapak tangan bersarung tangan yang menghadangnya.
“Tetap di tempat!”
“Kembali ke rumah atau kami tembak di tempat!” sambung polisi di sebelah kanannya.
“Sebentar saja, Pak … ”
Jamal berniat mengambil sesuatu dari saku baju kokonya.
“ANDA MELIHAT BERITA DI TV? ANDA TAHU PERINTAH KAPOLRI? ANDA PAHAM IMBAUAN MUI? ANDA TAHU SEKARANG SEDANG ADA WABAH?”
Jamal tersentak.
Saya hanya ingin ke sana
“Ya, Pak. Tapi … “
“MAKA DARI ITU, TETAP DI RUMAH!”
“Pak, saya hanya … “
Sebuah tamparan mendarat di pipi Jamal. Kata-kata yang keluar selanjutnya tidak menggoyahkan keteguhannya.
“Anda tidak pernah ke sini. Sekalinya ke sini, Anda melarang orang untuk ke sini!”
“ANDA JUGA TIDAK PERNAH KE SINI. SEKALINYA KE SINI, ANDA DATANG SAAT MUSIM WABAH SEPERTI INI!”
“Biasanya Anda tidak pernah peduli dengan perayaan keagamaan di … “
“BIASANYA ANDA JUGA TIDAK PERNAH PEDULI DENGAN KEGIATAN KEAGAMAAN APAPUN DAN LEBIH MEMILIH MENENGGAK MINUMAN KERAS DI WARUNG MAK INEM DI TENGAH MALAM!”
“Iya. Tapi tolonglah … sebentar, saya hanya ingin … “ ujar Jamal sambil mengeluarkan telepon pintarnya.
“ANDA MAU APA? MEREKAM KEJADIAN INI LALU MEMVIRALKANNYA?”
Polisi di hadapan Jamal segera merampas telepon pintar tersebut lalu menginjaknya di hadapan Jamal. Segera diambilnya pecahan telepon pintar tersebut. Jamal terkejut, meratap, lalu meneteskan air mata. Tendangan sepatu laras panjang mendarat di perutnya. Ia meraung.
Tolong, aku hanya ingin ke sana
Sekonyong-konyong Jamal digelandang petugas kepolisian untuk kembali ke rumahnya. Ia diteriaki para tetangga dengan cemohan yang melampaui batas kemanusiaan. Sorot mata mereka penuh dengan kebencian yang membuncah teramat sangat. Jamal hanya bisa termenung, ia tak tahu apakah bisa menanggung kegelisahannya selama tujuh hari ke depan.
Tuhan, aku hanya ingin ke sana
Sesampainya di rumah, ia segera memasuki kamar ibundanya untuk menceritakan segala hal yang selama ini ditutupinya.
Aku tak pernah ke sana, aku memang tak pernah
Jamal terkejut mendapati ibunya sudah tak bernyawa. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia tak mampu mengabulkan keinginan terakhir sang ibunda. Ia berusaha menenangkan diri seraya melenyapkan ingatan yang tak hentinya menggema dalam pikirannya.
Aku takkan pernah kesana
“Nak, bunda ingin melihatmu ke masjid, meskipun hanya lewat foto.”
Kata-kata itu senantiasa terngiang dalam ingatannya.
Aku hanya ingin ke sana
*Penulis merupakan Mahasiswa Sastra Inggris UIN SGD Bandung
*Cerpen ini pun dimuat di Tabloid Jurnalposmedia Edisi ke-13 rubrik sastra, silahkan kunjungi Tabloidnya disini