JURNALPOSMEDIA.COM – Berita buruk yang sering kita konsumsi belakangan ini, membuat banyak orang pesimis berpikiran bahwa di masa depan dunia tidak akan baik. Lingkungan yang rusak, negara yang berantakan, perselisihan antar kelompok yang terus meruncing dengan hanya mempermasalahkan gaya hidup, perebutan kekuasaan, peperangan antarnegara, penggusuran yang banyak kita jumpai di depan mata kita sendiri, atau bahkan tentang masalah perut karena harga pokok yang melonjak.
Mungkin masih banyak berita buruk yang pembaca bisa urutkan satu persatu sehingga mungkin semakin banyak berita buruk yang kita telan, semakin kita pesimis tentang bagaimana dunia ke depannya bisa jauh lebih baik.
Perubahan Iklim, Dasar Nyata Kenapa Dunia akan Semakin Buruk
Rasanya sekarang orang-orang sudah mulai menyelamatkan dirinya dan membangun tujuannya sendiri-sendiri, mencari mana saja yang satu haluan dengannya yang dikira bisa menyelamatkan mereka dengan cara yang mereka idealkan.
Contoh mudahnya mungkin tentang banyak dari kita yang koar-koar berkampanye tentang perubahan iklim. Perubahan iklim memang menjadi isu yang penting untuk dibahas beberapa tahun ini, bahwa di Kota Bandung saja telah mengalami kenaikan suhu yang signifikan.
Tabel rata-rata temperatur di kota Bandung 2014-2020 oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan suhu rata-rata pada tahun 2014 tercatat di angka 23,9 derajat Celcius. Dalam kurun lima tahun sesudahnya, suhu udara di Bandung terus menjadi lebih dingin dan suhu terendah pada 2018, yakni 22,12 derajat Celcius.
Dalam tiga tahun terakhir, suhu rata-rata di Kota Bandung mengalami tren kenaikan signifikan. Pada 2019, suhu rata-rata tercatat di angka 22,87 derajat Celcius, lalu melonjak menjadi 25,69 derajat Celcius pada tahun 2020, dan terakhir suhu tertinggi di 2021 tercatat mencapai 29 derajat Celcius.
Data di atas menjadi satu alasan mengapa kita harus tetap menyuarakan perubahan iklim walaupun mungkin banyak dari kita yang masih tetap tidak peduli dengan bahaya dari penggunaan plastik dan tetap membeli botol mineral setelah berkampanye di media sosial.
Rasanya hal ini menjadi dampak berkepanjangan dari peningkatan emisi yang semakin tinggi di setiap tahunnya. Peningkatan emisi yang semakin tinggi ditambah dengan penebangan hutan yang terus dilakukan sangat berdampak tinggi terhadap kenaikan panas bumi. Pembangunan pembangkit listrik dan industri menjadi penyebab utama penghasil CO2 di atmosfer. Fungsi pohon sebagai penyerap CO2 dari atmosfer akan semakin berkurang dengan deforestasi yang dilakukan terus menerus.
Disebut sebagai julukan paru-paru dunia, Indonesia seharusnya dapat mencegah perubahan iklim ini. Hal ini rasanya sangat disayangkan dengan realita yang ada, di mana jumlah hutan di Indonesia semakin menurun setiap tahunnya. Kebutuhan industri, pembukaan lahan, serta kebakaran hutan yang terjadi setiap tahunnya disebabkan dampak perubahan iklim menjadi penyebab mengapa Indonesia saat ini sulit kembali menjadi paru-paru dunia.
Selain beberapa penyebab di atas, tidak salah jika gaya hidup konsumtif di masyarakat pun berpengaruh terhadap perubahan iklim. Kemudian, angka literasi yang rendah di Indonesia pun ikut berperan dalam hal ini. Angka 0,001% minat baca Indonesia berdampak terhadap pengetahuan masyarakat Indonesia tentang perubahan iklim ini sehingga gaya hidup konsumtif dan literasi rendah akan semakin membuat masyarakat tidak peduli akan dampak perubahan iklim.
Kita Tidak Akan Bisa Bertahan Hidup Lebih Lama Lagi
Dampak yang disebabkan perubahan iklim memang tak main-main. Gagal panen saat musim panen karena buruknya cuaca, tangkapan ikan yang tiap tahun merosot bagi nelayan, atau kita yang hanya bisa tidur pada waktu dini hari karena hanya waktu subuh udara yang cukup sejuk.
Kekhawatiran di masa depan 10 hingga 20 tahun ke depan tentang bagaimana kelak umat manusia akan semakin mementingkan dirinya dan juga kelompoknya. Hal ini disebabkan karena kelak di masa depan angka kelaparan dunia semakin tinggi dengan berkurangnya sumber daya alam sebagai dampak perubahan iklim. Selain itu, kelak wabah-wabah baru di dunia kesehatan kembali muncul akibat semakin panasnya suhu bumi.
Kenaikan temperatur global yang seharusnya dapat dicegah dengan adanya “Perjanjian Paris”, di mana dunia berkomitmen untuk menjaga kenaikan temperatur udara tidak melebihi 1,5 derajat Celcius, harus terus dilakukan. Jika tidak, maka dampak lainnya adalah naiknya ketinggian air laut hingga 56 cm pertahunnya, dan akan lebih banyak kota yang tenggelam akibat hal tersebut.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan kepunahan masal akan cepat terjadi. Kelangkaan pangan, peningkatan ancaman penyakit, penurunan keragaman hayati, dan cuaca ekstrim akan terasa beberapa tahun ke depan.
Aku benci dengan situasi ini, tapi masa iya harus benci dengan diriku sendiri?
Dari keaadan dunia yang semakin memburuk, khususnya tentang iklim yang dampaknya sudah semakin nyata di depan mata, kita setidaknya masih punya harapan untuk kembali menghirup udara bersih, menikmati jernih air, menyelam dengan penuh keindahan terumbu karang, menghirup wangi tanah, dan mewariskannya kepada anak cucu kita di masa depan kelak.
Konsistensi untuk terus mengedukasi orang disekitar tentang dampak yang nyata dari perubahan iklim, memberlakukan konsep zero waste sebagai bentuk nyata kepedulian diri sendiri terhadap bumi. Melakukan gaya hidup yang hemat energi dengan bijak dalam penggunaan energi listrik, mencari sumber daya alternatif yang ramah lingkungan serta mengurangi penggunaan kendaraan bermotor akan berdampak baik bagi kelangsungan hidup.
Selain itu, sebagai warga negara yang peduli dengan isu perubahan iklim, sudah seharusnya kita serius dalam membahas isu ini, termasuk mengawal kebijakan dan langkah-langkah pemerintah dalam memerangi krisis iklim.
Apapun hal yang dilakukan, besar kecilnya akan selalu bermanfaat dengan didasari rasa kesadaran bahwa dimulai dari sendiri setidaknya akan memulai harapan baru agar bumi tetap bisa kita huni dan menjadi rumah yang nyaman bagi segala sesuatu yang ada di dalamnya.